Di sebuah desa kecil, lereng gunung berapi, Â ada seorang guru kampung yang hidupnya sederhana, ia mempunyai hobi menulis setiap habis shubuh, kebiasaan ini membawa namanya harum seantero Negeri, Â karena karya karyanya dikenal oleh berbagai kalangan, mulai pejabat, Â hingga kalangan akademisi.
Sikap bersahaja yang ia perlihatkan sehari hari, menjadi catatan tersendiri di hati masyarakat, salah satu sikap yang ia tunjukkan adalah mencium tangan anak guru yang pernah mengajarinya, Â walau usianya lebih muda darinya. Salah seorang tamunya bertanya kepadanya:
" Pak, Â kenapa anda mencium tangan orang yang lebih muda usianya?". Tamunya bertanya sambil terbata bata.Â
" Oh, Â iya tidak apa-apa, Â ini sudah menjadi kebiasaan saya sejak muda, lebih lebih puteranya guru yang telah mendidik saya". tuturnya dengan suara serak basahnya.Â
Anehnya, tamu tadi mendengar dari masyarakat bahwa, guru itu tidak mau dicium tangannya, hal ini yang menjadikan tamu tadi tergelitik untuk bertanya lagi.Â
"Saya sering mendengar dari masyarakat, Â bahwa bapak tidak mau dicium tangannya oleh murid-muridnya, apa alasannya? "tamu tadi ingin tahu jawabannya.Â
"Belum pantes saja. "Guru tadi menjawab sambil tersenyum.
"Maksudnya bagaimana pak? "tamunya semakin penasaran.Â
"Iya belum pantes saja,  karena saya merasa belum saatnya untuk ditiru prilakunya,  karena saya sering melakukan kesalahan,  kehilafan,  serta belum bijak dalam bersikap, untuk itu,  saya tidak ingin  tangan yang penuh dosa ini dicium oleh orang lain".
Akhirnya, sang tamu menyimpulkan bahwa pola hidup yang diterapkan guru tadi adalah mengajari kesederhanaan tanpa harus menggurui, serta tak gila akan, jabatan serta penghormatan dari orang lain, karena sang guru ingin mencerdaskan masyarakat dengan hal nyata, Â bukan sekedar retorika saja.Â
Oleh: Moh Afif Sholeh
Lorong Ribut, Â 2/11/2017, 09.46 Wib.Â