Mohon tunggu...
Kang Moenir
Kang Moenir Mohon Tunggu... Lainnya - Berproses menjadi sesuatu

Murid yang masih butuh bimbingan seorang Guru

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

"Lepet", Rindu Yang Mengancam

12 Mei 2021   01:36 Diperbarui: 13 Mei 2021   01:12 1154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lepet yang masih mentah

Setiap menjelang lebaran, ibu selalu bertanya. "Kamu pulang kapan nak?,".  Aku selalu gamang menjawabnya, "Insyaallah malam takbiran Bu, di usahakan,". 

Pertanyaan kapan kamu pulang ini sangat penting. Sebab ibu pasti akan membuatkan ku Lepet dan Lontong opor. Jadwal kepulangan dan waktu pembuatan kedua menu itu harus pas. Karena proses pembuatannya penuh perjuangan dan harus dihidangkan tepat pada waktunya.

Namun, situasi pandemi membuat mudik tidak leluasa. Bahkan Pemerintah pun membuat aturan tegas baik untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) maupun masyarakat umum. Intinya mudik dilarang.

Aku tak tega menjawab "Tidak bisa pulang". Dalam hati selalu berharap semoga ada peluang. 

"Ibu bikin Lepet lho", dua hari sebelum hari raya pesan masuk dari handphone adik dengan kiriman gambar bakal lepet yang masih terbungkus janur segar. Tambah meleleh hatiku, "Nok, bilang sama ibu tidak usah bikin banyak-banyak lepetnya. di eman-eman awake. Mending buat istirahat. Mas belum pasti bisa pulang, soalnya banyak penyekatan," kataku.

Jarak kota ku dengan kota ibuku sebenarnya tak terlalu jauh. Dua jam perjalanan lewat jalur reguler dan kurang satu jam perjalanan melalui tol. Sebulan atau dua bulan pasti aku sempatkan pulang. Tapi Lebaran terasa berbeda. Ada rindu yang membuncah yang harus ditunaikan. Apalagi sudah dua orang dari keluarga inti yang sudah tiada, Bapak dan adik laki-laki ku. Terkadang, saking rindunya ibuku kerap keliru memanggil namaku dengan nama adikku. 

Usia ibuku hampir 65 tahun, kesehatannya mulai berkurang. Meski demikian, setiap Lebaran Ibu selalu menyempatkan membuat Lepet. Panganan dari ketan yang dibungkus dengan daun kelapa muda (janur).  

Membuat lepet tidak mudah. Pertama ketan harus dicuci dengan air bersih kemudian ditiriskan. Setelahnya ketan dicampur dengan parutan kelapa dan sedikit garam. Baru kemudian bahan-bahan itu siap dibungkus. Untuk membungkusnya saja butuh waktu sekitar 2 jam untuk ketan sebanyak 3 kilogram dengan tenaga dua orang. 

Lepet beda dengan ketupat yang selongsongnya bisa dibeli lalu tinggal mengisinya. Selongsong Lepet dibuat seketika saat mengisinya. ketupat biasanya diisi dua pertiga dari volume selongsong. Sedangkan Lepet harus padat dan mengikatnya juga kuat-kuat dengan tali Tus (dari bambu).

Setelah dibungkus, kemudian direbus/tanak di atas tungku dengan bahan bakar kayu Selama 6 sampai 7 jam. Selama merebus Lepet, air tak boleh surut. Biasanya ibu menyediakan satu panci khusus yang berisi air mendidih untuk "ngejog" tempat merebus Lepet. 

Lepet diikat per lima biji. Ketan 3 kilogram akan jadi sekitar 80 buah lepet, atau 16 ikat. Hampir 10 jam total waktu yang dibutuhkan untuk membuat Lepet. Rumit dan melelahkan karena semalam suntuk harus terjaga. Itulah kenapa aku selalu melarang ibuku membuat Lepet. Aku khawatir kesehatannya. 

"Setahun sekali, kalau tidak Lebaran juga tidak ada Lepet," kata Ibuku beralasan.

Menurut ibu, Lepet itu lebih dari tradisi. Ada filosofi dibalik makanan padat dan gurih ini. Lepet adalah sarana "Silaturruhiyah" antara yang hidup dan yang sudah meninggal. Setiap Lebaran, anggota keluarga yang sudah meninggal sangat mengharapkan kiriman dari yang masih hidup. Lepet adalah ungkapan kerinduan dari yang masih hidup kepada yang sudah di alam keabadian.

"Nek ono keluargane sing wis mati ning kono men iso rasan Lepet, nek njaluk koncone ning kono gak bakal dikei (kalau ada  keluarga yang sudah meninggal disana bisa merasakan Lepet. Kalau minta temannya di sana tidak bakal dikasih)," kata Ibuku lagi.

Penjelasan ini bagiku logis-logis saja. Sebab biasanya Lontong dan Lepet ini menjadi satu paket untuk "Munjung" dan untuk "Mentokke" (akan aku ceritakan ditulisan berikutnya) setiap Lebaran. Pemberian berupa Munjung dan Mentokke ini selain sebagai "Pirukunan" juga ada nilai shodaqoh yang sudah barang tentu pahalanya akan mengalir ke si mayit. Aku yakin itu.

Tradisi Munjung bisa dibaca di link berikut :

https://thr.kompasiana.com/moenir/6094e1a5d541df4a6a0ad412/munjung-tradisi-berkirim-makanan-jelang-lebaran-yang-mulai-luntur

Lebaran tinggal menghitung hari dan semakin membuatku gelisah. Lepet itu seperti rindu yang mengancam. 

Ibuku seperti ibu-ibu lainnya di desa tak pernah mengkhawatirkan Covid-19. Ibuku hanya peduli kamu pulang atau tidak. Sebaliknya, aku sangat memedulikan kesehatannya. Maafkan aku ibu, semoga pandemi segera berakhir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun