Peradaban manusia sudah ada sejak berjuta tahun lalu. Sudah banyak generasi yang lahir. Jika dilihat dari tahun kelahirannya, perbedaan satu generasi dengan generasi lain cukup mudah untuk diketahui. Namun, selain itu ada juga hal lain yang membuat antardua generasi memiliki perbedaan.
Perbedaan lain itu dapat dilihat dari berbagai aspek, seperti nilai-nilai, sikap, cara berpikir, cara bekerja, dan gaya hidup. Perbedaan-perbedaan ini dapat memengaruhi cara berinteraksi antara satu generasi dengan generasi lainnya, dan juga mempengaruhi cara kerja dan gaya hidup yang mereka pilih.
Terkait perbedaan antargenerasi ini, Imam Hasan al-Bashri pernah berkomentar dalam salah satu karyanya, "Aku pernah menututi suatu kaum, andaikan kalian melihat mereka, kalian akan mengatakan, 'Mirip orang gila'. Akan Tapi, ketika mereka melihat kalian, mereka akan mengatakan, 'Mirip setan."
Menurut sejarawan, Imam Hasan al-Bashri merupakan seorang tabiin, dilahirkan di Madinah pada tahun 21 Hijrah (642 Masehi), yang menututi dua tahun sebelum wafatnya Khalifah Umar bin Khottob. Dia pernah menyusu dengan Ummu Salamah, istri Rasulullah Pada usia 14 bulan.
Secara tekstual, makolah Imam Hasan al-Bashri memberi indikasi mengenai perbedaan yang sangat mencolok antara generasi shahabat dan tabiin, baik dari segi ketakwaan, kewaraan, maupun kezuhudannya. Hal ini dilatarbelakangi oleh tuntutan zaman yang tidak ada sinkronasi antara keduanya. Padahal, kalau di telisik, era sahabat dan tabiin tidak terlalu jauh atau bisa dibilang sangat dekat.
Kita bisa bayangkan, apa yang akan dikatakan para sahabat atau tabiin saat mengetahui betapa merosotnya zaman sekarang kalau dibandingkan era keemasan yang mereka alami. Mungkin mereka tidak hanya akan mengatakan kita gila, setan, Firaun, atau tokoh lain yang dianggap sangat bejat.
Tentunya, dari setiap generasi, yang paling dekat pembawa syariat, patut menyandang title generasi terbaik. Sebab, mereka merupakan penerus tongkat kepemimpinan dan penyebar ajaran Islam ke penjuru dunia. Rasulullah bersabda:
خَيْرُكُمْ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik kalian adalah orang-orang yang hidup pada masaku, kemudian orang-orang pada masa berikutnya, kemudian orang-orang pada masa berikutnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dari ketiga generasi tersebut, mereka lebih dikenal dengan generasi salaf. Sedangkan generasi setelahnya dikenal dengan sebuatan khalaf. Syaikh Doktor Nashir bin Abdul Karim al-‘Aql mengatakan, “Salaf adalah generasi awal umat ini, yaitu para sahabat, tabiin dan para imam pembawa petunjuk pada tiga kurun yang mendapatkan keutamaan (sahabat, tabiin dan pengikut tabiin, red). Dan setiap orang yang meneladani dan berjalan di atas manhaj mereka di sepanjang masa disebut sebagai salafi sebagai bentuk penisbatan terhadap mereka.”
Kita yakin bahwa agama Islam merupakan agama yang telah mencapai titik sempurna dan akan senantiasa terjaga. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, dalam praktek yang dilakukan kaum muslim banyak terjadi perubahan, baik dalam bentuk pengurangan maupun penambahan. Ini ditandai dengan munculnya berbagai perbuatan bidah dan maksiat yang menyebabkan beberapa ajaran Islam ternodai.
Oleh karena itu, perlu ada usaha tajdid (pembaharuan) dan pemurnian ajaran Islam yang tersebar di tengah masyarakat. Kaum muslim membutuhkan orang yang akan memperbaharui agama ini dengan mengembalikan keaslian dan kemurnian ajaran suci ini. Dan Allah telah memberikan anugerah-Nya dengan memunculkan para mujaddid (pembaharu) yang mengikuti jejak Rasulullah untuk menghidupkan kembali ajaran Islam yang murni. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Rasulullah:
Tenta
إنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا
“Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini, pada setiap akhir seratus tahun, orang yang memperbaharui mereka.” (HR. Abu Dawud : 4291)
Tentang urgensi tajdid, Imam a-Munawi mengatakan, “Ketika Allah menetapkan Nabi Muhammad sebagai penutup para nabi dan rasul, sementara berbagai peristiwa dan kejadian tak terhitung jumlahnya, padahal mengetahui hukum agama sudah menjadi tuntutan hingga hari kiamat; Di samping itu, zhahir nash-nash syariat belum cukup untuk menerangkan hukum semua peristiwa-peristiwa itu, sehingga harus ada cara yang bisa menyingkap semuanya. Maka hikmah Allah melahirkan para ulama di penghujung tiap abad yang memikul beban untuk menjelaskan kejadian-kejadian tersebut."
Dari tajdid inilah, muncul inovasi-inovasi baru yang memurnikan ajaran Islam seperti sedia kala, tanpa menyalahi lambu-lambu syariat. Misalnya, pengumpulan naskah-naskah al-Quran pada masa Abu Bakar atas gagasan Umar bin Khatthab dan Kodifikasi hadis yang dilakukan berdasar perintah khalifah Umar bin Abdul Aziz (khalifah kedelapan Bani Umayyah). Pada intinya, semua inovasi yang dilakukan oleh generasi salaf, tidak ada yang menyimpang dari ajaran-ajaran syariat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H