Mohon tunggu...
Cahya Sinda
Cahya Sinda Mohon Tunggu... -

Sastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen|Wanita Tak Kasatmata

8 November 2018   10:34 Diperbarui: 8 November 2018   12:06 723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seharusnya bukan kopi yang dipesan, melainkan air tawar saja, bergelas-gelas juga tidak masalah. Memang itu untuk menghilangkan dahaga. Bagaimana mungkin memesan lagi satu gelas kopi pikir pemuda. Mungkin dia akan benar-benar memecah keheningan di gubuk itu.

Bila menyerah di sini, hanya suara ibu pemilik warung yang dapat ia dengar selanjutnya. Itu akan terjadi bila keberuntunganya sedang baik. Harga satu kopi jelas sudah di lihat pemuda dalam daftar menu. Ia berfikir keras, dengan semua keberuntungan itu lalu bagaimana dengan wanita yang ada di sana.

Kopi terus terkikis, sedangkan pemuda tidak dapat menahan keinginannya untuk terus menyeruput kopi. Seharusnya habis kopi satu gelas, pergi ia dari warung dan melanjutkan kesibukannya yang lain. 

Hal itu adalah yang seharusnya dilakukan pikirnya. Langit sepertinya kekurangan pasokan air. Gemuruh atap seng mempertahankan kenyamanan di dalam gubuk yang sudah bersahabat dengan keempat manusia di sana mulai sayu terdengar. Keheningan semakin jelas tanpa ada suara apapun selain beberapa suara kendaraan bermotor yang berlalu-lalang. 

Tanpa menggunakan jas hujan, tidak masalah berkendara di jalan dengan sisa air hujan yang berjatuhan. Pikirannya tidak karuan, sementara tiga makhluk bernyawa dan berakal lainnya diam dan biasa-biasa saja. Kemisteriusan lain muncul, sebenarnya tak ada yang meminta pemuda untuk pergi, bahkan hujan dan kopi sekalipun.

            "Berapa buk? Tambah pisang gorengnya satu.

            "Tiga ribu."

            "ohh, ini buk."

Ibu pemilik warung tidak membalas. Pemuda berdiri hendak pergi memaksa keinginannya mati perlahan-lahan, toh rasa penasaran ini pasti akan hilang juga nantinya. Sambil berdiri sambil dilampiaskannya keinginan yang dipaksanya mati itu kepada seruputan terakhir antara kopi dan ampasnya. Diayunkan tangan pemuda itu meraih gelas, dilihatnya kopi itu, digiring perlahan ke mulut. Semakin dekat mulut, kemudian ditempelkan ke mulut.

            "sreuuuupp..."

Terus diseruput, matanya melihat arah lain. Entah mungkin tidak sengaja atau memang naluri keingintahuan yang tadi dipaksa mati masih tidak terima. Kini posisinya lebih tinggi dari tembok beton. Bukan ke arah yang lain, tapi benar-benar lurus selurus-lurusnya menatap wanita misterius itu. Tiada tirai hitam, tiada tembok beton. Wanita misterius menatap balik si pemuda. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun