Pendidikan merupakan investasi jangka panjang bagi kemajuan suatu bangsa. Bahkan Indonesia telah menetapkan target ambisius melalui visi Indonesia Emas 2045, yang salah satu pilarnya adalah pembangunan manusia serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, alokasi anggaran pendidikan dalam APBN 2025 justru mengalami pemangkasan signifikan, sehingga menimbulkan polemik.Â
Total anggaran pendidikan sebesar Rp724,2 triliun dalam APBN 2025 yang berjumlah Rp3.621,3 triliun, terjadi pengurangan anggaran di beberapa sektor strategis. Di sisi lain, pemerintah memprioritaskan program Makanan Bergizi Gratis (MBG), yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan dan nutrisi anak-anak sekolah. Keputusan ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana pemangkasan anggaran pendidikan akan berdampak pada upaya membangun SDM unggul dan berdaya saing di era globalisasi? Apakah kebijakan ini selaras dengan visi besar Indonesia Emas 2045?
Pemangkasan Anggaran Pendidikan 2025: Sebuah Tantangan Baru
Berdasarkan APBN 2025, anggaran pendidikan yang seharusnya mencapai 20% dari total belanja negara mengalami pengurangan. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah: Dari Rp33,5 triliun menjadi Rp26,2 triliun. Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi: Dari Rp57,6 triliun menjadi Rp43,3 triliun. Kementerian Kebudayaan: Dari Rp2,4 triliun menjadi Rp1,2 triliun.
Pemangkasan ini dilakukan untuk mengalokasikan anggaran ke program MBG, yang bertujuan memberikan makanan bergizi gratis kepada anak-anak sekolah guna mengatasi masalah stunting dan malnutrisi. Meskipun program MBG memiliki dampak positif dalam aspek kesehatan anak, kebijakan ini juga menimbulkan kekhawatiran terkait konsekuensi jangka panjang terhadap kualitas pendidikan di Indonesia. Tanpa investasi yang cukup, berbagai masalah fundamental dalam dunia pendidikan bisa semakin memburuk.
Dampak Pemangkasan terhadap Pendidikan di Indonesia
Pendidikan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. Pemangkasan anggaran jelas memberikan dampak. Dampak tersebut bisa terjadi pada tingkat dasar, menengah, maupun tinggi.Â
Jika kita meninjau dari Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, maka berdampak pada infrastruktur dan kualitas guru. Pemangkasan anggaran sebesar Rp7,3 triliun berisiko menghambat peningkatan infrastruktur sekolah, distribusi tenaga pendidik berkualitas, kebutuhan anak-anak untuk bersekolah, serta implementasi kurikulum yang adaptif. Padahal, masih banyak sekolah di daerah terpencil yang membutuhkan pembangunan ruang kelas, laboratorium, dan akses digital.
Kemudian jika meninjau dari Kementerian Pendidikan Tinggi, yang terjadi adalah ancaman pada riset dan inovasi. Anggaran pendidikan tinggi berkurang Rp14,3 triliun, yang dapat menghambat pendanaan riset dan pengembangan teknologi. Ini berlawanan dengan visi Indonesia Emas 2045 yang menekankan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Universitas dan lembaga penelitian membutuhkan dana besar untuk meningkatkan daya saing akademik serta menghasilkan inovasi yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Belum lagi masalah terkait kesejahteraan dosen.Â
Kemudian untuk Kementerian Kebudayaan adalah resiko pada identitas Bangsa. Pengurangan anggaran kebudayaan sebesar 50% dapat berdampak pada program pelestarian budaya, seni, dan kearifan lokal. Padahal, kebudayaan merupakan elemen penting dalam membangun karakter bangsa dan memperkuat identitas nasional di tengah arus globalisasi.
Mandatory Spending 20%: Apakah Masih Terjaga?