Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dijalankan pemerintah pada dasarnya memiliki tujuan yang sangat baik, yaitu untuk meningkatkan kualitas gizi masyarakat terutama anak sekolah, sebagai investasi sumber daya manusia jangka panjang dalam upaya mencapai Indonesia Emas 2045. Akan tetapi, di balik program yang sangat baik tersebut, potensi permasalahan tidak dapat diabaikan.
Potensi terjadinya penyelewengan anggaran akan menjadi risiko besar mengingat skema distribusi dana yang luas dengan melibatkan banyak pihak, serta keterbatasan sistem pengawasan. Penyalahgunaan dana dalam bentuk mark-up harga, pengadaan bahan tidak sesuai standar, hingga laporan keuangan yang dimanipulasi dapat menurunkan efektivitas program yang dijalankan.
Potensi kemungkinan terjadinya proyek fiktif terkait laporan penyaluran makanan yang tidak sesuai fakta atau jumlah penerima manfaat yang dilebihkan untuk kepentingan pihak tertentu. Isu terkait 5.000 Dapur MBG (SPPG) fiktif telah banyak beredar di media massa. Anggota Komisi IX DPR, Nurhadi, menyebutkan dalam rapat dengan Badan Gizi Nasional (BGN) bahwa ada sekitar 5.000 titik Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang diduga fiktif (detiknews). Frasa "fiktif" di sini merujuk pada daftar titik SPPG yang sudah diusulkan secara administratif dan masuk portal mitra, tetapi belum terealisasi secara fisik (belum dibangun dapur, belum beroperasi) dan/atau belum ada kejelasan pelaksanaannya (detiknews). Berdasarkan informasi dari BGN, dapur operasional yang telah diverifikasi benar adanya dan bukan fiktif. Akan tetapi titik-titik yang disebut fiktif merupakan usulan yang belum dibangun /operasional (detiknews). "Fiktif" dalam konteks ini belum selalu berarti penipuan aktif, karena sebagian besar titik yang diduga fiktif adalah titik usulan yang belum mencapai tahap operasional. Tetapi munculnya indikasi jual beli titik dan data terdaftar tapi tidak pernah diwujudkan adalah aspek yang mengkhawatirkan, karena berpotensi menjadi pintu masuk penyalahgunaan anggaran.
Indikasi terjadinya Jual Beli Titik Dapur MBG, termuat dalam laporan adanya dugaan bahwa ada oknum yang menjual lokasi titik dapur MBG kepada BGN (atau pihak yang mengurus pengajuan). Artinya, oknum mendaftarkan titik dapur untuk mendapat nomor ID atau terdaftar di portal, dandi duga kemungkinan mengambil keuntungan dari pendaftaran misalnya dengan menjual lokasinya daripada membangun dan menjalankan dapur (detiknews). Dugaan ini memicu permintaan dari DPR agar BGN memperbaiki mekanisme verifikasi (detiknews). Potensi permasalahan yang lain terkait dengan data SPPG, diduga terdapat perbedaan data antara "terdaftar" dan "operasional". Banyak titik SPPG yang tercatat dalam portal mitra MBG sebagai pendaftar, sehingga mendapatkan status "terdaftar", tapi belum membangun dapur dan belum mulai operasi penyediaan makanan. Hal ini akan menimbulkan persepsi bahwa ada banyak penyedia "fiktif", walau klaim BGN bahwa belum semua pendaftar diwajibkan segera operasional (detiknews).
BGN menyebut bahwa saat ini ada lebih dari 100.000 pendaftar di portal, sementara yang akan dioperasikan hanya sekitar 30.000 titik. Jadi titik yang tidak dibangun belum tentu bermaksud menipu, tapi karena proses atau kriteria belum terpenuhi (detiknews).
Keberadaan titik-titik yang "terdaftar tapi tak dibangun" memperlebar celah administratif dan berpotensi mengaburkan transparansi. Bila tidak ada sistem audit/verifikasi fisik yang memadai, pihak yang berkepentingan bisa saja mengklaim keberadaan dapur yang tidak ada, atau menerima dana/reimburse untuk sesuatu yang tidak dilakukan.
Selain itu, aspek teknis distribusi makanan juga rentan menimbulkan kasus keracunan apabila penyedia jasa katering tidak memenuhi standar kebersihan, penyimpanan, dan pengolahan makanan. Beberapa kasus keracunan sudah terjadi selama program MBG dijalankan. Kejadian Massal di Cianjur Jawa Barat, sekitar 78 siswa dari MAN 1 dan SMP PGRI 1 di Cianjur mengalami keracunan setelah menyantap paket MBG. Gejala: muntah, diare, mual. Kasus ini dinyatakan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Cianjur. (Kompas Nasional).
Belasan siswa mengalami muntah-muntah, sakit perut, dan pusing karena ayam tepung yang diduga sudah basi di SDN 33 Kasipute, Bombana di Sulawesi Tenggara. Kasus terjadi pada hari ketiga pelaksanaan MBG di sekolah tersebut (Kompas). Di Kabupaten Batang Jawa Tengah, Sekitar 60 siswa SDN Proyonanggan 5 Batang menunjukkan gejala mual dan sakit perut setelah mengonsumsi menu MBG (Kompas Nasional). Sementara itu di Kabupaten PALI, Sumatera Selatan, Sebanyak 64 siswa dari lima sekolah diduga keracunan makanan setelah menyantap MBG. Gejala: sakit perut, kepala pusing, mual. Pihak kepolisian mengambil sampel makanan untuk dianalisis (detikcom).
Di Bogor Jawa Barat, Sebanyak 36 orang (siswa dan guru) terdampak keracunan makanan program MBG di 13 sekolah. Beberapa orang dirawat di rumah sakit. Makanan didistribusikan dari dapur SPPG Bina Insani (IDN Times). Begitu juga di Kabupaten Banggai Kepulauan Sulawesi Tengah, lebih dari 250 siswa SD sampai SMA diduga keracunan setelah mengonsumsi MBG di sekolah. Banyak siswa yang sudah pulang setelah mendapat perawatan (detikcom).
Peristiwa semacam ini menegaskan bahwa program makan bergizi gratis, meskipun bertujuan baik, dapat menjadi bumerang bila pengawasan terhadap kualitas bahan makanan dan higienitas pengolahan diabaikan. Kasus-kasus keracunan MBG yang telah terjadi memperjelas bahwa pengawasan kualitas makanan, penyimpanan, distribusi, dan SOP kebersihan belum sepenuhnya diterapkan dengan aman di banyak tempat. Ini menegaskan bahwa risiko teknis bukan sekadar teori.