Pentingnya sistem komunikasi politik dalam negara demokratis benar-benar terlaksana maksimal dan perlu dipertahankan. Hal tersebut berlaku antara pemerintah dengan masyarakat, begitupun sebaliknya. Sebagai negara yang demokratis, Indonesia terdapat sistem komunikasi politik yang baik antara pemerintah sebagai komunikator (pengirim pesan) dengan masyarakat sebagai komunikan (penerima pesan), ataupun sebaliknya.
 Adanya penerapan teori David Easton dan teori Gabriel Almond menjadikan sistem komunikasi politik berjalan dengan efektif di negara Indonesia. Karena rata-rata, pola penyampaian atau alur berkomunikasi politik yang dilakukan seperti teori-teori tersebut, dimana berawal dari input (tuntutan/demands) menjadi output (dukungan/support) sebagaimana teori David Easton.Â
Lalu berjalannya fungsi sosialisasi politik, rekrutmen politik, penggabungan kepentingan, dan komunikasi politik oleh enam struktur politik yaitu kelompok kepentingan, partai politik, lembaga eksekutif, legislatif, birokrasi, dan peradilan. Hal tersebut sebagaimana teori Gabriel Almond.
 Adapun contoh yang membuktikan komunikasi politik berjalan pada sistem politik Indonesia. Pada sidang paripurna DPR tanggal 17 Juni 2013 tentang pengesahan UU APBN Perubahan 2013, dimana pelaksanaan tersebut melalui pemungutan suara atau voting yang hasil dari sidang tersebut menyatakan harga BBM bersubsidi akan dinaikkan (Pengkajian et al., 2014) .Â
Contoh lain seperti yang terjadi di Kota Padang Sumatera Barat, dimana terdapat 25 perda syariah pada daerah tersebut, salah satunya adalah intruksi Walikota Padang No. 451.422/Binsos-III/2005 tentang Pemakaian Muslim/Muslimah bagi Murid/Siswa sekolah mulai dari SD/MI, SLTP/MTS dan SLTA/SMK.Â
Perda tersebut menunjukkan bahwa walikota Padang selaku elite politik pada daerah tersebut menerapkan sistem komunikasi politik yang baik mengacu pada teori David Easton, adanya input dan output. (Magriasti, 2011)
Jika dianalisis pada contoh tersebut, kehadiran pemerintah yang diperankan oleh lembaga eksekutif dan legislatif terbilang sebagai suprastruktur politik selalu berbarengan keterlibatannya dengan masyarakat yang terbilang sebagai infrastruktur politik.Â
Dimana fungsi suprastruktur politik mewujudkan keseimbangan kekuasaan, yang kemudian mengkonversi proses pembuatan keputusan menjadi produk kebijakan publik yang nantinya disebarluaskan kepada masyarakat atau civil society.Â
Respon masyarakat atau civil society sebagai infrastruktur politik dapat berupa aspirasi, mendukung, menolak produk kebijakan, demonstrasi, itu semua menunjukkan penerapan komunkasi politik yang perankan oleh infrasruktur politik.
Disamping itu, peran pers juga menunjukkan keberhasilan sistem komunikasi politik karena menjadi sarana yang memudahkan proses komunikasi dari pemerintah kepada masyarakat atau sebaliknya, lalu mutlak dalam kebebasan suara, berpendapat, berekspresi. Selain itu juga sebagai sumber informasi dan pengawas pemerintah. (Djuyandi, 2017)