Mohon tunggu...
Mochammad Nashwan
Mochammad Nashwan Mohon Tunggu... Siswa SMA

Suka hal banyak, tetapi lebih menulis cerpen

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pencabutan Anggaran Minimal Kesehatan APBN: Apakah Keputusan yang Tepat?

14 Agustus 2023   12:00 Diperbarui: 14 Agustus 2023   12:52 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kondisi pandemi Covid-19 pada tahun 2020 sampai 2022 telah membuat pendanaan negara fokus pada anggaran kesehatan. Pendanaan ini dimaksudkan untuk mendukung penanganan Covid-19 dan dampaknya sekitar. Pada 2021, alokasi anggaran kesehatan meningkat dari sebelumnya Rp172 triliun menjadi Rp193,93 triliun. Anggaran yang diberikan merupakan salah satu insentif pemerintah agar masyarakat Indonesia mendapatkan layanan kesehatan yang berkualitas dan memadai.

Walau masa pandemi kini telah berakhir, tetapi keberadaan anggaran kesehatan masih menjadi unsur penting dalam pembangunan dan pemerataan pelayanan kesehatan Indonesia. Anggaran kesehatan diperlukan dalam menjaga kestabilan pelayanan kesehatan yang hadir di seluruh bagian Indonesia. Dengan begitu, masyarakat Indonesia bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak, aman, dan mudah dijangkau.

Selain itu, anggaran kesehatan ini juga dapat digunakan pemerintah untuk mendanai inovasi-inovasi teknologi dalam bidang kesehatan. Teknologi kesehatan tersebut dibuat dengan tujuan untuk meningkatkan pelayanan pasien, efisiensi kerja, hingga persentase keselamatan pasien.

Sementara itu, pemerintah mengeluarkan RUU Kesehatan Omnibus Law yang akan mengancam jumlah anggaran kesehatan yang diperlukan banyak warga di daerah terpencil. Kenapa begitu?

RUU Kesehatan disini akan menghapus alokasi wajib anggaran kesehatan yang sebesar minimal 5% dari total APBN yang awalnya terkandung dalam Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009. Bukannya membantu perkembangan dan pemerataan pelayanan kesehatan Indonesia, penghapusan kebijakan ini dikhawatirkan akan memperparah pembagian pendanaan kesehatan khususnya pada daerah yang terpencil yang bergantung pada anggaran kesehatan tersebut.

Penghapusan alokasi wajib anggaran kesehatan dapat mengurangi kesempatan bagi masyarakat di daerah terpencil dan kurang berkembang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang setara dengan daerah yang lebih maju.

Alokasi anggaran sebelumnya telah menjadi jaminan bagi kawasan daerah terpencil untuk memenuhi kebutuhan medis dan tenaga kesehatan.

Dengan menghilangkan hal ini, kesenjangan dalam akses terhadap pelayanan kesehatan dapat semakin membesar. Buktinya, sebuah penelitian oleh CISDI, mencatat bahwa masih ada 58 daerah dari total 518 kabupaten/kota di Indonesia yang mendapatkan anggaran kesehatannya kurang dari 10% pada tahun 2021. Kenyataan ini menjelaskan bahwa kegunaan anggaran kesehatan

Selain itu, menurut CEO lembaga kajian Central for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Diah Saminarsih, menjelaskan bahwa kebijakan pencabutan anggaran tersebut hanya akan memperburuk kondisi pelayanan kesehatan untuk para petugas puskesmas di daerah.

"[Kebijakan] ini akan berdampak ke daerah-daerah, petugas puskesmas di daerah yang bergantung pada alokasi anggaran 5% itu. Ada obat-obatan ARV yang harus diakses untuk orang dengan HIV dan obat-obatan insulin untuk orang dengan diabetes. Itu banyak sekali yang dibebankan pada alokasi anggaran 5% tadi," ujar Diah.

Sebagai gantinya, pemerintah menyiapkan sebuah kebijakan baru yang menurutnya dapat meratakan sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Yakni dengan menganggarkan pelayanan kesehatan berdasarkan keperluan sebenarnya di lapangan.

Untuk itu, pemerintah daerah dan petugas puskesmas daerah perlu bekerja sama dalam mengajukan anggaran kesehatan mereka ke pusat sehingga layanan kesehatan mereka terpenuhi untuk masyarakat.

Juru bicara Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmidzi, berkomentar kalau keputusan bersama yang dibuat oleh pemerintah ini sudah tidak bisa diganggu gugat.

Alasannya, kebijakan anggaran minimal ini dianggap "terpaksa" dan dilanjutkan dengan "perencanaan program pembangunan kesehatan yang tidak jelas dan tidak sinkron antara pemerintah pusat dan daerah".

Menurut Diah, dampak dari kebijakan baru ini dikhawatirkan akan menyusahkan para pihak daerah. "Ini tidak akan banyak berpengaruh pada program-program kesehatan di level nasional, tapi bayangkan kalau proses itu harus dilalui sampai oleh puskesmas-puskesmas di daerah, apa mereka sudah memiliki kapasitas untuk itu?"

Lantas, apabila suatu daerah tidak bisa mendapatkan anggaran kesehatannya yang dibutuhkan maka dampaknya akan terkena kembali ke masyarakat daerah.

Contoh dari dampaknya adalah peningkatan biaya pengobatan yang tidak bisa ditutupi dompet masyarakat, supply obat medis yang tidak mencukupi, gaji tenaga kesehatan yang tertunda, hingga hilangnya aksesibilitas masyarakat untuk pergi berobat. Tentu masih ada anggaran kesehatan dari APBD yang disiapkan oleh pemerintah daerah.

Tetapi faktanya, anggaran yang disediakan dari APBD pun sejauh ini 70%-nya disedot untuk membayar gaji dan insentif, sehingga tanpa alokasi anggaran wajib dari pusat, program-program kesehatan "dapat terabaikan".

Selain itu, masalah dari sistem kebijakan yang ditawarkan pemerintah kemungkinan tidak akan memberikan dampak kepada kualitas fasilitas kesehatan di daerah.

Perkembangan kualitas fasilitas kesehatan di suatu daerah tidak didasarkan pada besar atau kecilnya jumlah anggaran, melainkan dari komitmen pemerintah dalam menjalankan program kesehatan. Perkembangan kualitas fasilitas kesehatan yang maksimal membutuhkan hasil komitmen pemerintah dalam menggunakan anggaran kesehatan secara efisien, dengan begitu program kesehatan yang dibuat pemerintah akan mempengaruhi kualitas fasilitas kesehatan yang selalu diharapkan masyarakat.

Sejak awal RUU Kesehatan ini memang mengundang banyak permasalahan di mata publik. Pasalnya, kegiatan pembahasan dan pengesahan rancangan undang-undangnya dilakukan secara tertutup atau tidak transparan sehingga membuat para pekerja tenaga kesehatan resah.

Perlu diketahui bahwa sosialisasi antara pihak pemerintah dengan masyarakat menjadi salah satu kunci penting dalam membuat negara yang kuat dan maju.

Dengan itu, pemerintah sudah seharusnya aktif dalam menginformasikan hasil perancangan undang-undang kesehatan agar masyarakat dapat ikut berpendapat dalam mencari solusi terbaik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun