Sekarang sudah mulai tak kenal lagi. Beberapa muridku benar-benar tak tahu Chairil Anwar. Apalagi tahu dan memahami karya karyanya.Â
Dulu, ketika masih sekolah juga mengenal Chairil dari buku pelajaran. Chairil Anwar adalah tokoh Angkatan 45 menurut Paus Sastra Indonesia, HB Jassin.Â
Seharusnya, Chairil bukan hanya di kenal namanya belaka. Karya karya puisinya juga seharusnya dikenal. Bahkan semangat yang berkobar dalam puisi puisinya juga seharusnya bukan hanya untuk acara tujuh belasan belaka.Â
Seorang pemberontak. Iya, benar. Bukan hanya dalam kehidupannya tapi juga dalam penulisan puisi puisinya. Anggaplah jika dibandingkan dengan puisi puisi yang lahir di era Pujangga Baru. Di era Pujangga Baru puisi masih begitu mendayu dayu.Â
Chairil memberontak. Puisinya begitu individual. Ekpresif. Mungkin karena pada saat lahir, perjuangan negeri ini juga sedang dalam kobaran yang paling membara.Â
Chairil itu binatang jalang. Dari kumpulan nya terbuang. Tidak mau tunduk pada kumpulan. Chairil itu aku.Â
Tanggal kematian Chairil Anwar pernah diperingati sebagai hari Sastra. Tapi pada saat partai Komunis jaya dengan Lekranya, partai itu menghajar Chairil hingga hari kematian Chairil pun tak lagi diperingati sebagai hari Sastra.Â
Muncul lagi penahbisan hari lahir Chairil sebagai hari Puisi. Â Beberapa waktu lalu diperingati di Taman Ismail Marzuki.Â
Hidupnya tak lama. Hanya 27 tahun. Sebagai binatang jalang itu harus menyerah pada malaikat maut yang menjemputnya.Â
Walaupun usia nya tak panjang. Tapi, pengaruh Chairil dalam penulisan puisi masih terasa hingga sekarang. Bahkan Sutarji yang mencoba membebaskan kata dari beban makna pun seakan lenyap di hadapan pengaruh puisi manusia Medan tersebut.Â