Malam seperti melambat.
Kamu masih belum tertidur. Â Matamu masih terjaga. Â Belum mau kompromi. Â Dipaksapun malah semakin nggak bisa dipejamkan. Â Kamu terus mencoba dan tak mau menyerah.
Seekor cicak muncul dari balik jam dinding.
Dia bengong agak lama. Â Kamu tersenyum melihatnya. Â Mungkin cicak itu juga sedang menyenyumimu. Â Lalu, tiba tiba muncul cicak lain. Mengejar cicak pertama. Â Tidak kena. Â Cicak pertama lari masuk kembali ke dalam dinding. Â Cicak kedua juga masuk ke balik jam dinding. Â Lama kamu menunggu ciccak itu keluar lagi dari balik jam dinding. Â Tapi tak keluar keluar juga. Â Hanya suara cik cak nya yang kau dengan.
Mungkinkah sedang bercinta?
Kamu kembali ingat pacarmu yang selingkuh. Â Kamu marah. Â Kamu hampir saja bunuh diri. Â Tapi kamu kemudian melangkah mundur. Â Kamu yakin kalau bunuh diri bukan jalan terbaik menghilangkan rasa kecewa yang menumpuk dan rasa marah yang menggunung. Â
Asiknya dua cicak itu.
Tak ada cicak ketiga yang mengganggunya. Â Mereka mungkin sedang asyik berdua. Â meluapkan segala rasa. Â Lalu kamu tersenyum. Â Merasa sebagai orang ketiga bagi dua ciciak yang tak berani muncul kembali.
Dan jam dinding itu sudah menunjuk nunjuk angka tiga.
Kamu bangun. Â Kamu ingat kalau kamu tak sendiri. Â Biarlah dia berkhianat. Â Biarlah dia berlaku seperti itu. Â Kamu merasa masih punya Tuhan. Tuhan yang tak pernah meninggalkannya.
Kamu ambil air wudlu. Â Kamu curi Tuhan dari makhluk makhluk lain yang masih terlelap.
Dan kamu merasa nyaman.