Mohon tunggu...
M Iqbal M
M Iqbal M Mohon Tunggu... Seniman - Art Consciousness, Writter, and Design Illustrator.

Aktif sekaligus pasif bermanifesto, bermalas-malasan, dan memecahkan misteri. Selebihnya, pembebas dari sebuah ketiadaan, tanpa awalan dan akhiran. Kontak saya di @mochamad.iqbal.m

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Membayangkan Kehidupan Skala Kecil dengan Peralatan Sabotase Ontologis (Bagian 1)

25 Juli 2021   01:30 Diperbarui: 25 Juli 2021   12:46 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Lucunya lagi, orang-orang yang mendaku sebagai pegiat seni/budaya (dalam tanda kutip) ataupun aktivis pergerakan (percaya dengan predikat aktivisme, patron dan gerakan sosial humanisme universal) dan berteriak revolusi komunal secara makropolitik-dasman hanyalah merupakan sebuah bualan tukar-tambah hasrat atau birahi yang menjadi modal mereka untuk menghidupi banyaknya variabel keremeh-temehan optimistik-ontologis beserta rokok dan alkohol yang mereka tenteng ditambah dengan vitalitas-sensual upahan dari para feminis dan groupis (dalam tanda kutip maupun tidak dalam tanda kutip yang tidak memperhatikan temporisasi-komunikasi), lalu percaya diri bahwa gaya hidupnya berbeda dari standar orang pada umumnya, serta melakukan provokasi massa untuk membenci makro-birokrasi sebagai makanan hariannya sembari teteap menjalankan sikap dekaden.

Dalam hal ini, sebuah pengakuan atau predikat yang berkaitan dengan terminologi sosiologis semacam tadi tidak melulu timbul dari dorongan diri atas pemenuhan terhadap kesenangan ontologis, melainkan juga bisa timbul dari dorongan sosial-komunal yang  mengkonstruk prinsip orang-orang teritorial-reteritorial tersebut, hingga mereka menormalisasi dan menganggap tindakan-tindakan yang mereka lakukan itu relevan diterapkan ditengah masyarakat secara ontologis-komunal, dengn kata lain; bagi yang tetap bersikap komunalis sekaligus bersembunyi dibalik kekuatan komunalisme akan sulit untuk melakukan evaluasi atau keluar dari logika komunal yang dekaden. Singkatnya, antagonisme The Other yang diproduksi komunal akan kembali bermuara kepada horizon arena komunal yang sudah menjadi doxa the real (meminjam term Bordieu dan Zizek), kondisi inilah yang saya menyebutnya dengan istilah  sirkulasi moda produksi antagonisme komunal (entah itu kodifikasi moda produksi watak-watak fasistik, komunistik, maupun sosialistik sekalipun).

Genealogi Subjek dan Spiritus yang Melampaui Entitas Dikotomik.

Kendati uraian saya diparagraf-paragraf sebelumnya cenderung deterministik, tapi saya tidaklah sepakat dengan determinisme ataupun freewill, saya sepakat dengan konsep kompatibilis Whitehead yang melihat sesuatu tidak secara dikotomis. Sebab secara ontologi, ketentraman manusia tidak ditentukan oleh dikotomi, melainkan oleh unsur spiritus yang akan muncul dari sehat atau tidaknya metode determinisme atau freewill sekalipun.

Konsep spiritus inilah yang menjadi jawaban sintesis dari kewajiban dikotomik-paradoksal yang ditemukan oleh para begawan post-modernisme; dengan cara memadukan kedalaman imajiner sesosok subjek deteritorial dengan keketatan dan kerapian metode yang bersifat matematis. Konsep spiritus inilah yang akan melampaui dinamika probematik dari pelbagai varibale dikotomik sekaligus abusrditas-paradoksal. Dan munculnya konsep ini untuk pertama kalinya dan cukup konkrit bisa kita runut dan telisik dari korpus post-metafisik yang disusun oleh begawan bernama Haidegger.

Perlu diketahui bahwa teramat besar ketidak sepakatan saya dengan komunisme atau atom-atom dari isme-isme lainnya--- seperti halnya proyek Foucaultian---, namun jika dalam diskursus filsafati wajar untuk dikatakan bahwa tidak ada marxisme yang an sich, maka saya bisa menafsir marxisme menjadi semacam narasi post-ideologis yang mutakhir terlepas dari terminologi komunisme utopis ala marx, ala primitifis, dan seterusnya, seperti yang mencoba ditilik oleh penulis buku Marxisme Seni Pembebasan.

Saya mulai dari Manuskrip Paris, Marx menyebut kepemilikan privat membuat orang "begitu dungu dan satu sisi" karena menganggap sebuah "komoditi" hanya jadi bagian dari diri kita bila kita langsung memilikinya--- entah ketika ia jadi modal kita maupun ketika langsung memakannya, meminumnya, mengenakannya, menghuninya. Pendek kata, bila ia kita pergunakan. Dalam proses itu, seluruh hasrat kapasitas manusia, seluruh kesadaran dan perasaannya, digantikan dan jadi asing oleh kesadaran akan "punya".

Maka, membebaskan diri dari hubungan milik yang eksklusif dan kekuasaan itulah sebenarnya tujuan komunisme. Marx melihat komunisme sebagai "tindakan mengatasi secara positif kepemilikan privat". kata "positive Aufhebung", yang dalam bahasa Inggris seing diterjemahkan sebagai "positivie transcendence", tidak mengacu ke pembasmian atau peniadaan. Ia mengacu kepada suatu laku yang mengambil jarak yang cukup dari, atau mengatasi, "komoditi" sebagai objek kekuasaan. Atau kepada kekuasaan itu sendiri.

Namun suatu jarak tersebut  menurut saya masihlah abstrak sebab tanpa upaya pencarian akan spiritus mikro-ontologis, maka setiap "jarak" atau berbagai macam relasi akan tetap bersifat destruktif dan serampangan. Singkatnya, kita membutuhkan penyingkapan diri dari selubung atomisme-atomisme kodifikasi dekaden yang sudah sedemikian rupa diproduksi sekaligus dihidupi oleh masyarakat-komunal.

Dengan penafsiran dekonstruktif diatas dan penambahan saya, maka saya dapat memunculkan diktum; adalah marxis untuk tidak lagi menjadi marxis, adalah komunis untuk tidak lagi menjadi komunis. Dan dengan demikian, seperti halnya Stirner, Marx sesungguhnya tidak memulai proyek ontologinya hanya dari basis yang menentukan superstruktur---atau overdeterministik yang dikemukakan oleh Althusser---melainkan Marx hendak menelisik variabel-variabel lain yang mendasari adanya basis dan superstruktur. Tafsiran semacam inilah yang oleh Bhaskar disebut sebagai "sistem tertutup" dan "sistem terbuka" dalam membicarakan perihal ontologi Marx.

Itu artinya, paradigma Marx dapat kita lihat bukan sebagai pelopor katarsisme tertentu sehingga perlu memberikan kultus kepada satu tokoh atau ideologi apapun, sebab yang terpenting ialah spiritus asketis yang autentik dengan "kebertubuhan" sebagai sintesis "berada-di-dunia" dari segala macam nilai-nilai imanen maupun transenden tanpa terkungkung oleh pemakaian praktis-instan atas instrumen bau terasi semacam naturalisme-antroposentris maupun idealisme-theosentris (baca: "spooks" dalam term Stirner).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun