Mohon tunggu...
MOCH. FAIZAL ALANTINO
MOCH. FAIZAL ALANTINO Mohon Tunggu... Pribadi

jangan putus asa, tetap lah berjuang untuk meraih semua yang di impikan

Selanjutnya

Tutup

Financial

Stabilitas Nilai Tukar Ditengah Perang Tarif Us China

23 April 2025   14:05 Diperbarui: 23 April 2025   14:05 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Moch. Faizal Alantino

faizal.alantino@gmail.com

Perang tarif yang terjadi antara Amerika Serikat dan Tiongkok tidak hanya soal tarif. Ini merupakan elemen dari persaingan strategis antara dua raksasa global yang mencakup aspek ekonomi, teknologi, dan geopolitik. Dari dampak tersebut dapat memicu stabilitas nilai tukar negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, hal ini dapat memperburuk nilai tukar rupiah yang menyentuh rekor sejak krisis 1998.

Perang tarif ini awalnya dipicu oleh ketegangan panjang soal perang perdagangan dan teknologi antara kedua negara yakni pihak US dan china. Kemarin, Trump mengumumkan kenaikan tarif sebesar 254% untuk barang-barang yang diimpor dari China, sementara beberapa perwakilan negara sedang melakukan negosiasi di AS, termasuk Indonesia.

Trump juga mengakhiri semua pembicaraan dengan China dan memilih untuk berkonsentrasi pada Jepang dan Korea Selatan. China melihat kebijakan yang diterapkan oleh AS sebagai bentuk tekanan sepihak yang merugikan hak mereka dalam perdagangan global. Tingginya tarif ini menyebabkan banyak produk dari China menjadi jauh lebih mahal di pasar internasional. Di sisi lain, produk-produk dari AS juga kini menghadapi tarif tinggi ketika memasuki pasar China.

Untuk dampak perang tarif ini juga terasa pada nilai tukar rupiah yang makin merosot. Pada bulan april 2025, rupiah menyentuh angka Rp 16.891 per dolar AS hal ini sangat rendah nilai nya dibandingkan pada sejak krisis moneter di tahun 1998. Ketegangan pasar global dapat mendorong investor menarik modal dari pasar negara berkembang. Akibatnya sentimen risk-off yang melanda pasar dan memicu tekanan pada mata uang rupiah. Selain itu, biaya barang dari luar negeri dapat naik, yang berpotensi menyebabkan inflasi impor. Situasi ini dapat mengurangi kemampuan beli masyarakat dan menghambat perkembangan ekonomi secara keseluruhan.

Pemerintah Indonesia memberikan pembaruan mengenai negosiasi tarif yang untuk dilakukan memperoleh kestabilan nilai tukar. Sebelumnya, barang dari Indonesia yang memasuki AS dikenakan tarif sebesar 32 persen pada 2 April, namun kemudian ditunda selama 90 hari pada 9 April.

Dalam hal tersebut "Kami melakukan intervensi dalam sektor ekspor, dengan memanfaatkan alat-alat intervensi, sehingga ketika terdapat laporan mengenai dolar yang berlebihan, Bank Indonesia terjun langsung, menyediakan valuta asing demi mengurangi fluktuasi nilai tukar,".

Selanjutnya, Bank Indonesia juga akan terlibat dalam intervensi di pasar forward dengan alat domestik non-deliverable forward (DNDF). Alat ini berfungsi untuk mengelola harapan pasar terkait pergerakan nilai tukar di masa depan.

"Selain itu, intervensi tersebut juga dilaksanakan di pasar forward, dengan menggunakan domestic non-deliverable forward,".

 Bank Indonesia aktif membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder untuk mendukung likuiditas di sektor keuangan domestik. Kebijakan ini juga memiliki peran penting dalam memelihara stabilitas sistem keuangan Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun