Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sungai Waktu

18 Mei 2020   10:00 Diperbarui: 18 Mei 2020   13:45 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilsutrasi: i.pinimg.com

Bahwa semesta bukanlah fakta statis yang tergelimpang dalam hampa, tapi suatu struktur peristiwa yang terus menerus mengalir. Kita tidak dapat melihat untuk kedua kalinya ke sungai yang sama. Jika itu terjadi maka kita dan sungai -keduanya- telah berubah. Sungai ke muara dan kita menua.

Sungai adalah perwakilan klise atas waktu. Kita dihanyutkan di sungai itu. Kita datang dari Tuhan, tanpa papan pengumuman akan berakhir di mana. Sungai ini di mana ujungnya. Ruh Tuhan ditiupkan kepada kita, dari sisi terdalam kita ada kerinduan untuk kembali. Kadang-kadang dan terlalu sering, hedonisme mengalihkan pembicaraan tentang jalan pulang itu.

Aku telah mencampakkan tanda tanya ke keranjang sampah. Di sajadahku, seluruh tetes wudhukku adalah tanda seru. Aku telah berhenti menggali waktu, dan menguburkan mengapaku. Di pintu kemana aku akan pergi, di jalan kemana aku akan pulang, aku sedang menambal lubang-lubang dengan sisa kerikil doa. ___ Tebing Waktu (Rida K Liamsi) dalam buku puisi Sungai Rindu (Sagang, 2020).

Rida melakukan percakapan batin yang penuh. Suatu dialektika sufisme tentang pendakian Tuhan, dan memulai ketundukan atas waktu.

Bagi Heidegger, waktu adalah horizon manusia, ia terlempar di dunia (Dasein). Kita dapat melihat waktu tidak terlempar begitu saja. Waktu adalah subjektifitas dengan tanda tanya. Manusia membangun sejarahnya sendiri-sendiri dari benturan-benturan eksistensial menuju tebing waktu.

Agustinus mencoba membagi waktu menjadi objektif dan subjektif. Artinya ada waktu mandiri di luar manusia. Hal ini dibantah Immanuel Kant, karena cepat atau lambat adalah soal persepsi individu.

Carlo Rovelli, seorang fisikawan teoretis asal Italia menyebut waktu sebagai ilusi. Tidak ada variabel tunggal yang mampu menggambarkan jalannya waktu. Konsep mengenai lalu, depan, dan kini hanyalah persepsi yang muncul dari pengalaman manusia ketika berinteraksi dengan sekitarnya.

Cara pandang subjektif kita akan jalannya waktu tidak serta merta dapat disamakan dengan dunia fisik sesungguhnya. Einstein telah menyebut ini sebagai delusi optik.

Dalam surat Al-Kahfi (18): 19 dinyatakan: Dan berkata salah seorang dari mereka, "Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?" Mereka menjawab, "Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari ..."

Ashhabul-Kahfi yang ditidurkan Allah selama tiga ratus tahun lebih, menduga bahwa mereka hanya berada di dalam gua selama sehari atau kurang, Mereka berkata, "Kami berada (di sini) sehari atau setengah hari." (QS Al-Kahf (18): 19).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun