Era ultramodernisme muncul dan membuka cakrawala yang tak pernah singgah di benak manusia manapun sebelumnya. Bahwa manusia tak punya kehendak bebas bahkan roh. Apa yang ada dalam pikiran manusia hanyalah algoritma biokimia. Sains dapat menciptakan sesuatu yang lebih cerdas, lebih kuat dan apapun kelemahan pada manusia akan dilipatgandakan dengan skala paling maksimal.
Bahkan manusia tidak pernah tahu apa yang terbaik untuk dirinya sebaik mesin pengerkah angka atau big data milik Google. Di era ini manusia diprediksi akan meninggalkan humanisme apalagi tuhan, dan segera beralih ke agama data.Â
Soal data paling tidak sudah dibuktikan oleh sebuah mesin bernama Deep Blue yang mampu mengalahkan pecatur dunia Garry Kasparov pada 1996. Deep Blue segera mengistirahatkan pemujaan terhadap kemampuan manusia setelah mengantongi data dari 700.000 pertandingan grand master.
Menurut Ian Ayres dalam buku Crazy Nomics, alat pengerkah data bernama Super Cruncher dapat melakukan prediksi akurat tak terbantahkan terhadap apapun di masa depan. Tidak hanya memprediksi ketepatan bakat, namun juga dapat menemukan jodoh terbaik manusia dengan tingkat kegagalan nol persen. Hal ini semudah dilakukan dengan nol persen kecelakaan dan kemacetan di sepenuh jalan raya, dengan otomatisasi kemudi seperti Google's Driverless Cars.Â
Ketika era ini tiba, pikiran-pikiran manusia yang lemah dan berpotensi gagal sudah tidak ada gunanya. Politik sebagai pikiran sempit-setidaknya dari kacamata filosof dan mesin data- tentang siapa yang paling layak menjadi pengatur, akan menjadi tidak layak satu pun. Potensi chaos pada setiap negara sebagai sisi gelap politik dengan mudah dapat dibersihkan oleh digitalisasi terintegrasi.
Dataisme akan mendobrak dengan kekuatan penuh dan mensinergikan semua disiplin ilmu di dunia, hingga musikologi, ekonomi dan biologi. Simfoni Kelima Beethoven, buih bursa saham dan virus flu hanyalah tiga pola aliran data yang bisa dianalisis dengan menggunakan konsep dasar dan alat yang sama. Sains telah menjawab semua pertanyaan dan kebutuhan manusia, yang selama beribu tahun dilantunkan lewat doa monolog yang spekulatif.
Maka sebagai manusia bertuhan, tidak sebaiknya kita larut dalam kegelisahan post-modernisme. Bahwa ada ruang metafisis yang tidak terjangkau sains, dan di situlah Tuhan tersembunyi. Soal ketiadaan kehendak bebas yang mengiringi eksistensi manusia, seutas tali yang dijulurkan al Quran melalui QS. Ar-Ra'd sudah cukup dijadikan pegangan.
Ayat itu berbunyi: Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka. Artinya manusia memiliki kehendak bebas untuk mengubah nasibnya sendiri (meski di belakang hari diatur oleh komputer), dan takdir bukanlah otoritas absolut.
Bagi dunia Barat yang sedang diselimuti kegamangan hubungan dengan Tuhan, mungkin perlu merenung sebuah kredo dari teolog dan fisikawan Blaise Pascal (1623-1662). Bahwa jika keberadaan Tuhan tidak dapat dipercaya, seseorang harus bertaruh bahwa Tuhan itu ada, karena kita tidak akan kehilangan apapun jika kita hidup sesuai dengan perintah-Nya. Taruhan ini ada dalam karyanya, Penses.
Dengan bahasa sederhana dapat diterjemahkan, sebaiknya percaya saja kepada Tuhan karena tidak ada ruginya. Bagaimana nanti setelah mati Tuhan benar-benar ada, tapi kita sudah terlanjur ateis.
Ungkapan Pascal yang amat terkenal berbunyi: hati mempunyai alasan-alasan yang tidak dimengerti oleh rasio. Dengan pernyataan ini Pascal tidak bermaksud menunjukkan bahwa rasio dan hati itu bertentangan. Hanya saja, rasio atau akal manusia tidak akan sanggup untuk memahami semua hal (terutama pembuktian Tuhan). ~MNT