Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Demokrasi Kita Telah Dikaburkan oleh Ilusi Optik

17 April 2018   11:40 Diperbarui: 18 April 2018   08:40 2461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: steemit.com

Demokrasi kita sedang lelah. Lelah mendaki langit esensi tapi hanya berputar–putar di selingkaran horizon. Orang-orang yang terlibat di dalamnya begitu gemar memuja kedangkalan dan memproduksi bualan. Demokrasi ditafsirkan sebatas kepuasan bercakap-cakap dan iring-iringan lima tahunan yang kekanak-kanakan.

Prasyarat demokrasi yang sempurna adalah kecerdasan publik. Tanpa itu demokrasi hanyalah kertas kosong yang dicoret-coret para kelana politik. Menyembah demokrasi adalah sebuah kekeliruan, karena ia hanyalah perkakas. Pilih mana, pemimpin yang lahir dari monarki absolut tapi mampu membawa kemakmuran atau pemimpin yang tercipta dari perkakas demokrasi tapi membiarkan rakyatnya terjerembab lama di pelimbahan papa?

Maka demokrasi bukanlah tujuan, ia semata laluan. Kita sudah mufakat untuk menjalankan bangsa ini dengan sistem demokrasi karena secara historis sudah tidak ada cara lain yang dapat memuaskan semua orang. Mestinya juga kita sepakat bahwa seorang pemimpin adalah perkakas demokrasi.

Pemimpin bukan dewa dewi langit yang dititiskan sebagaimana mitologi dalam monarki absolut. Memilih demokrasi berarti berhenti memuja pemimpin atau calon pemimpin laksana petapa suci. Mengkultuskan pemimpin adalah aksi kontra demokrasi. Dalam esensi demokrasi, rakyat adalah pengendali perkakas, bukan sebaliknya. Kata kuncinya Dēmokratía  (kekuasaan rakyat) bukan Aristocratie (kekuasaan elit).

Jika seorang figur sudah dikultuskan maka mata pemujanya sudah kabur. Yang kemudian tercipta adalah ilusi optik bahwa pujaan mereka laksana mistikus yang jauh dari salah. Demokrasi tak pernah ada selama rakyat tak sadar diuntung, bahwa mereka adalah patron yang sebenarnya bukan malah menjadi pelayan apalagi orang upahan. Tidak dapat tidak, kunci gerbang demokrasi yang esensial adalah kecerdasan publik dan entah kapan.

Ilusi Optik pertama kali dijelaskan oleh Epicharmus pada abad V SM yang kemudian diikuti oleh Protagoras, Plato dan Aristoteles. Ilusi Optik menjurus kepada definisi fisika sebagai sesuatu yang membelokkan realitas, dan umumnya dimiliki oleh kebanyakan orang. Epicharmus menyebut itu terjadi karena indra bisa menyesatkan, namun Protagoras mengatakan ilusi optik muncul karena lingkungan yang bodoh (membodohi atau mencitrakan). Sementara Aristoteles membenarkan keduanya, bahwa ilusi dapat terjadi karena indra dan manipulasi objek.  

Dalam perjalanan pengetahuan waktu, ilusi optik diperkaya oleh para filsuf berbeda dan para peneliti. Salah satunya Hermann von Helmholtz (abad XIX). Ahli fisika dari Jerman ini mengajukan ide ilusi kognitif. Menurut Helmholtz, ilusi kognitif muncul dari asumsi seseorang yang memegang sekitar lingkungannya atau dunia secara keseluruhan. Otak dan mata manusia membuat kesimpulan tidak sadar (auto pilot) berdasarkan asumsi dan dengan demikian menciptakan ilusi kognitif.

Bila ilusi optik ditarik ke alam demokrasi, ia telah menjadi cara rakyat untuk menerjemahkan dan memilih siapa pemimpin mereka. Persona seorang pemimpin atau calon pemimpin kemudian dikultuskan. Ilusi optik ini membuat siklus demokrasi demikian berisik. Meributkan isu permukaan tapi jauh dari kontemplasi atau perenungan yang senyap. Berdasarkan ilusi kognitif mereka membuat pembenaran-pembenaran yang seolah-olah cerdas.

Indonesia kekinian sudah berada dalam polarisasi yang beku lalu memegang ilusi optik masing-masing yang tak tergoyahkan. Mestinya rakyat sebagai tuan utama demokrasi melesat dari dua kutub ini lalu mengamati dari ketinggian untuk mendekat kepada Tuhan agar mampu melihat fenomena secara terang dan holistik.

Publik yang cerdas tidak tabu soal tagline #gantipresiden2019  atau #lanjutduaperiode, dan sebatas bicara tentang fungsi dan disfungsi serta telaah–telaah dalam netralitas ruang publik. Bukan penghamba tapi penentu. Bukan sebarisan atau kerumunan hampa, tapi analis yang cendikia. Laksana instrumen musik, bukan tabla atau seruling yang jadi soal, tapi mana yang paling bisa memainkan harmoni yang senada dengan kebutuhan rakyat.

Esensi demokrasi adalah rakyat semesta dan substansinya adalah perkakas menuju kemakmuran. Oleh ilusi optik kita gagal melihat esensi dan eksistensi demokrasi. Kualitas seorang figur pemimpin dikacaukan oleh ilusi-ilusi yang muncul dari dalam diri dan kepalsuan yang dipampangkan oleh politik kekuasaan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun