Mohon tunggu...
Money

Hakikat Zakat (Pandangan Abu Ubaid, Bapak Ekonomi Islam)

29 Oktober 2016   14:43 Diperbarui: 29 Oktober 2016   14:54 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Adanya zakat dalam Islam, mengisyaratkan bahwa jika zakat terpenuhi, maka perekonomian suatu negara Muslim akan terjaga stabilitasnya. Tujuan zakat, infaq, dan sedekah bukan hanya sekedar memenuhi kewajiban sebagai seorang muslim. Lebih jauh dari itu, zakat, infaq, dan sedekah dapat menggerakkan perekonomian mikro dan makro suatu negara. 

Secara logika, zakat, infaq, dan sedekah adalah pemberian sejumlah harta dari golongan yang memiliki kelebihan harta kepada golongan yang membutuhkan. Dengan jumlah penduduk Muslim mencapai 85%, potensi zakat Indonesia mencapai 217 triliun rupiah. Jika seluruh penduduk Muslim mengamalkan zakat, maka kemungkinan besar penduduk Muslim akan hidup dalam kesejahteraan.

Tidak demikian menurut Abu Ubaid, salah satu pemikir ekonomi Islam yang concern terhadap keuangan publik. Abu Ubaid dinobatkan sebagai salah satu Bapak Ekonomi Islam, karena banyak pemikirannya diadopsi oleh Adam Smith, Bapak Perekonomian Klasik. Abu Ubaid dalam Kitab Al-Amwal menyatakan bahwa distribusi kekayaan negara kepada masyarakat, harus adil dan merata. 

Adil dan merata yang dimaksud adalah distribusi yang didasarkan kepada konstribusi yang diberikan masyarakat tersebut kepada negara. Sehingga hibah, bantuan, dan sumbangan negara kepada masyarakat yang membutuhkan tidak dapat diberikan kepada seluruh masyarakat yang membutuhkan, melainkan ditilik dari seberapa jauh konstribusi yang diberikan kepada negara itu.

Hal ini juga berlaku pada distribusi zakat bagi penerima zakat. Menurut Abu Ubaid, tidak seluruh masyarakat miskin dapat menerima zakat. Pada masa itu, zakat tidak akan diberikan kepada masyarakat yang memiliki 40 dirham atau sekitar dua juta rupiah di luar kebutuhan standar masyarakat, yaitu  sandang, pangan, papan, dan pelayan. 

Delapan asnaf penerima zakat tidak selalu berhak menerima zakat, kecuali ia tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dan memiliki kekayaan kurang dari 40 dirham. Sehingga, meskipun seseorang memiliki rumah memadai, pakaian dan makanan yang cukup, serta pelayan di rumah mereka, namun tidak memiliki uang lebih dari dua juta rupiah, maka mereka wajib untuk dizakati. Begitu juga halnya dengan muallaf yang kebutuhan dasarnya terpenuhi dan memiliki kekayaan di atas dua juta rupiah, maka ia tidak wajib untuk dizakati.

Sedangkan untuk pemberi zakat, diwajibkan adalah penduduk yang memiliki harta di atas 2000 dirham, atau sekitar 100 juta rupiah dengan kebutuhan dasar yang telah terpenuhi. Bagi golongan penduduk yang memiliki harta di bawah 100 juta rupiah, tidak diwajibkan untuk membayarkan zakat dan juga tidak berhak untuk menerima zakat. 

Berdasarkan BPS 2014, pendapatan per kapita penduduk Indonesia hanya mencapai 31 juta rupiah per tahun, atau sekitar 2.6 juta per bulan. Berdasarkan data tersebut, disimpulkan bahwa hampir seluruh penduduk Indonesia tergolong tidak wajib zakat dan tidak berhak atas zakat.

Abu Ubaid mengedepankan hadits-hadits untuk mengutamakan kebutuhan dasar individu sebelum menunaikan zakat. Maka, menurut sebuah hadits yang menceritakan tentang seorang pemuda yang bertanya tentang bagaimana cara ia untuk menggunakan uangnya kepada Rasulullah, maka Rasulullah menjawab bahwa yang harus ia penuhi terlebih dahulu adalah untuk kebutuhan pribadi, kebutuhan keluarga, kebutuhan anak-anak, kebutuhan pembantu, setelah itu barulah Rasulullah menganjurkan untuk menunaikan zakat.

Berdasarkan pemikiran Abu Ubaid, dapat diambil kesimpulan bahwa zakat menjadi wajib ditunaikan ketika seorang muslim sudah mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar dirinya, keluarganya, dan orang-orang yang menjadi tanggungannya. Jika hal tersebut belum terpenuhi, tidak perlu memaksakan diri untuk menunaikannya. 

Sementara itu, golongan yang menerima zakat perlu ditinjau ulang, karena tidak hanya orang-orang dengan kategori miskin seperti yang diformulasikan oleh lembaga-lembaga keuangan dan lembaga survey, melainkan orang-orang yang terlihat mempunyai rumah, kendaraan, bahkan pembantu, kemungkinan juga berhak menerima zakat lantaran tengah dililit hutang. Oleh karena itu, perlu adanya peninjauan kembali terhadap golongan penerima zakat di Indonesia agar zakat yang telah dikeluarkan oleh beberapa pihak tidak tersalur kepada golonga yang salah.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun