Mohon tunggu...
Mukhotib MD
Mukhotib MD Mohon Tunggu... Penulis - consultant, writer, citizen journalist

Mendirikan Kantor Berita Swaranusa (2008) dan menerbitkan Tabloid PAUD (2015). Menulis Novel "Kliwon, Perjalanan Seorang Saya", "Air Mata Terakhir", dan "Prahara Cinta di Pesantren."

Selanjutnya

Tutup

Politik

Djogja Goegat

5 Juni 2012   06:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:23 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Lakon Semar Gugat, merupakan versi pengembangan dari lakon pewayangan ‘Ismaya Meneges’. Dalam lakon ini diceritakan perilaku para dewa di kahyangan Jonggring Saloka yang sudah keterlaluan, melebihi batas. Menentukan nasib manusia seenak udelnya sendiri. Berbagai ketidakadilan meraja lela, dan membuat susah kehidupan manusia kebanyakan. Kekuasaan Bathara Guru yang sudah berlebihan, bergaya bebas melakukan apa saja, mengubah apa saja, sesuai dengan kehendaknya. Tidak lagi pernah mau mengingat sejarah, tidak mengingat asal usul. Kalau ia ingin mengubahnya, maka semuanya harus berubah.

Melihat kekuasaan tanpa batas dari Bathara Guru, yang berkongsi dengan dewa-dewa pendampingnya, Semar marah besar. Ia ingin meluruskan kembali sikap keterlaluan adiknya itu. Sebagaimana dikisahkan, Sang Hyang Tunggal beristri Dewi Rekawati, dan pada suatu waktu sang Dewi bertelur. Lalu telur itu terbang dan menghadap Sang Hyang Tunggal hingga menetas dengan sendirinya. Kulit luar telur itu menjadi Tejamantri (ketika turun ke bumi diganti nama Togog) sebagai anak tertua. Kemudian putih telurnya menjadi Bambang Ismaya (ketika turun ke bumi diganti nama menjadi Semar) dan kuning telurnya menjadi Manikmaya, yang setelah kedua kakaknya diturunkan ke bumi, namanya diganti menjadi Bhatara Guru.

Maka sesuai juga dengan titah Sang Hyang Tunggal, ketika dahulu diturunkan ke Bumi, hanya boleh ke kahyangan, ketika Bhatara Guru melakukan ketidakailan. Dan janji itu sudah tiba. Dengan menahan amarah yang luar bisa, Ki Lurah Semar Bodronoyo, yang menguasai Desa Karang Kadempel, hendak nglurug (mendatangi sendirian tanpa bala untuk melakukan perlawanan) terhadap perilaku adik kembarnya itu.

Menahan amarah yang terlalu lama, membuat laki-laki aneh itu--berperut bulat, berpayudara besar, dan dengan mata yang selalu mrebes—mengeluarkan kekuatan saktinya, bukan senjata Kalimasadha yang dititipkan kepada Yudhistira, melainkan kentutnya yang memang baunya luar biasa. Ketut Semar yang nggembuleng berputar-putar di Jonggring Saloka mampu membuat para dewa semaput, mabuk dan sebagiannya mati tak mampu menahan aroma tak sedap dan beracun itu.

Semar membubarkan kongsi para dewa, menundukkan mereka, dan memaksa Bhatara Guru untuk kembali berbuat adil, dalam menjalankan kekuasaannya di kahyangan. Bhatara Guru berjanji untuk tidak lagi mengulangi tindakan semena-menanya, dalam menentukan nasib manusia di bumi, di bawah kekuasaan para dewa di kahyangan. Dan misi Semar jelas, mengingatkan kembali kepada para dewa, kepada alam raya, meski dirinya selama ini menyamar sebagai wong cilik, yang menerima kewenangan dari kahyangan, tetapi ingatlah dirinya sesungguhnya putra Sang Hyang Tunggal.

Ketidaksabaran Ki Semar Bodronoyo, terhadap ketidakadilan dan kesewenang-wenangan kahyangan, sangat relevan dianlogkan dengan sabda tama yang disampaikan Sulan Hamengku Buwono X, Raja Kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat, yang menguasai tanah Mataram, pada tanggal 10 Mei 2012 yang lalu.

Seperti juga Semar, Sultan sudah tidak bisa lagi bersabar untuk mengikuti kemauan pemerintahan pusat berkaitan dengan  RUU Keistimewaan yang terus berlarut-larut, karena SBY tampaknya tak mau memahami sejarah Kasultanan Yogyakarta.  SBY tampaknya lupa terhadap sejarah, atau berpura-pura lupa, Keraton Yogyakarta sama sekali tidak berada dalam wilayah NKRI pada saat Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Yogyakarta adalah wilayah yang merdeka, sampai ketika Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam pada tanggal 30 Oktober 1945, menyatakan sabda tama, menyerukan kepada seluruh rakyat Mataram Yogyakarta bergabung dengan NKRI.

Gugatan Sultan bukan main-main. Jika ini tidak didengarkan oleh pemerintah pusat, akan sangat rentan bagi suhu politik di masa depan. Sebab bagi rakyat Yogyakarta, sabda tama merupakan sebuah hukum yang harus dijalankan sebagai titah wajib bagi seluruh rakyat Keraton. Sebagaimana disebutkan dalam sabda tama itu, Sultan menyatakan Mataram (Keraton Yogyakarta)n dan Kadipaten Pakualaman merupakan wilayah merdeka, yang menyatakan bergabung dengan NKRI tetapi memiliki tata aturan pemerintahan sendiri.

Selain sebagai sebuah titah bagi rakyat Yogyakarta, sabda tama merupakan sikap tegas Sultan berkaitan dengan RUU Keistimewaan Yogyakarta, yang terkait dengan penetapan Sultan dan Pakun Alam yang bertahta sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Setelah sabda tama disampaikan Sultan, maka semuanya sudah harga mati. Berbagai gaya politikus dan kehendak SBY untuk menyamakan sistem pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY seperti juga daerah yang lain dengan mengatasnamakan demokrasi, akan menjadi nol besar. Tidak bermakna sama sekali.

Dan saat ini, dengan berpedoman pada sabda tama itu, rakyat Kesultanan Ngayogyokarto Hadiningrat, telah mendapatkan bekal perintah dari sang Raja untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah pusat berkaitan dengan RUU Keistimewaan. Dan Sultan pasti akan membelanya, karena penetapan itu merupapakan sikapnya. Sultan tidak akan pernah menarik kembali sabdanya yang sudah menjadi hukum.

Melihat situasi ini, SBY sudah saatnya tidak lagi berdalih demokrasi karena perlawanan itu akan mengalir deras untuk segera diberlakukan RUU Keistimewaan dengan substansi utama ditetapkannya pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur melalui cara penetapan. Dan sungguh-sungguh menyadari, politik di Yogyakarta memiliki perbedaan yang mendasar dengan daerah lain, karena pengakuan rakyat terhadap Sultan sebagai raja bukan hanya formalitas belaka, tetapi masih mendarah daging, segar mengalir dalam tubuh mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun