Mohon tunggu...
Muhammad Ilham Arifin
Muhammad Ilham Arifin Mohon Tunggu... Seorang Mahasiswa UPR

Wanpis Wadai Nanas Goreng Keju

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Ngomong Kasar di Kalangan Remaja Saat Ini

9 Oktober 2024   22:18 Diperbarui: 9 Oktober 2024   23:03 1397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena penggunaan bahasa kasar di kalangan remaja saat ini semakin terlihat jelas dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari, terutama di era digital dan media sosial. Bahasa kasar yang dulu dianggap tabu dan hanya digunakan dalam situasi tertentu, kini tampak lebih mudah diterima dan bahkan menjadi bagian dari cara komunikasi sehari-hari. 

Banyak remaja yang secara terbuka menggunakan kata-kata kotor, baik dalam percakapan langsung maupun di dunia maya, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya. 

Fenomena ini menimbulkan berbagai kekhawatiran, terutama terkait dengan bagaimana hal ini mempengaruhi perkembangan karakter, hubungan sosial, dan budaya masyarakat secara umum.

Salah satu penyebab utama meningkatnya penggunaan bahasa kasar di kalangan remaja adalah pengaruh lingkungan, terutama dari teman sebaya. Di usia remaja, pergaulan dan pengakuan dari teman-teman menjadi sangat penting. 

Remaja cenderung meniru perilaku dan gaya bicara dari orang-orang di sekitarnya untuk merasa diterima dalam kelompok. Ketika dalam lingkungan tersebut bahasa kasar menjadi hal yang biasa, maka tidak mengherankan jika mereka juga mengadopsi kebiasaan yang sama.

Selain itu, media sosial juga memiliki peran besar dalam menyebarkan penggunaan bahasa kasar. Platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter kerap menjadi ruang di mana remaja saling berinteraksi, berdebat, atau bahkan membuat konten yang memuat kata-kata kasar. Algoritma media sosial yang sering memprioritaskan konten yang kontroversial atau ekstrem juga memperparah situasi ini. 

Konten yang mengandung kata-kata kasar atau bersifat provokatif sering kali mendapatkan perhatian lebih besar, baik dalam bentuk like, komentar, atau share. Hal ini mendorong remaja untuk berpikir bahwa menggunakan bahasa kasar adalah cara yang efektif untuk mendapatkan perhatian dan pengakuan di dunia maya.

Budaya pop, terutama melalui musik, film, dan konten video, juga turut memperkuat normalisasi bahasa kasar di kalangan remaja. Lirik lagu yang mengandung bahasa vulgar, dialog film, atau video kreator di platform seperti YouTube sering kali dipenuhi dengan kata-kata kasar. 

Remaja yang terpapar secara terus-menerus oleh konten semacam ini, baik secara sadar atau tidak, akan menganggap penggunaan bahasa kasar sebagai sesuatu yang lumrah.

Dalam beberapa kasus, bahasa kasar bahkan digunakan sebagai bentuk ekspresi diri atau identitas. Beberapa remaja menggunakan bahasa kasar untuk menunjukkan "kebebasan" atau "pemberontakan" terhadap norma-norma sosial. Di sisi lain, ada yang menggunakannya sebagai cara untuk menunjukkan keberanian atau ketangguhan di depan teman-teman mereka. 

Sayangnya, pemahaman ini sering kali salah arah dan tidak memperhitungkan dampak negatif yang lebih luas, baik bagi diri mereka sendiri maupun bagi orang-orang di sekitar mereka.

Ngomong kasar mungkin terlihat sepele bagi sebagian remaja, tetapi dampaknya bisa sangat signifikan. Dari sisi psikologis, remaja yang terbiasa menggunakan bahasa kasar cenderung menunjukkan tingkat empati yang lebih rendah. Mereka menjadi lebih mudah marah, defensif, atau bahkan agresif ketika berhadapan dengan konflik. Bahasa kasar juga bisa mencerminkan kurangnya kemampuan untuk mengelola emosi dan menghadapi situasi yang menantang dengan cara yang lebih konstruktif.

Dampak sosial dari kebiasaan ini juga tidak bisa diabaikan. Penggunaan bahasa kasar dalam komunikasi sehari-hari dapat merusak hubungan interpersonal. Orang-orang di sekitar remaja, baik teman, keluarga, maupun guru, mungkin merasa tidak nyaman atau tersinggung dengan kata-kata yang mereka gunakan. 

Remaja yang sering berbicara kasar bisa dijauhi oleh teman-teman yang lebih menghargai komunikasi yang santun, atau bahkan bisa kehilangan kesempatan di lingkungan sekolah dan pekerjaan di masa depan akibat citra negatif yang mereka bangun.

Lebih jauh lagi, bahasa kasar yang sering digunakan dalam perdebatan online, terutama di media sosial, bisa memperparah polarisasi dan konflik antarindividu atau kelompok. Remaja yang terbiasa menggunakan bahasa kasar mungkin juga cenderung lebih intoleran terhadap pendapat atau perbedaan pandangan, sehingga memperkeruh suasana diskusi yang seharusnya bisa berjalan secara damai dan saling menghargai.

Lingkungan pendidikan dan keluarga memiliki peran penting dalam menangani fenomena ini. Sekolah, sebagai tempat utama bagi remaja mengembangkan kepribadian dan nilai-nilai sosial, perlu lebih aktif dalam mengedukasi siswa mengenai pentingnya etika berbahasa. 

Program-program literasi digital yang menekankan etika berkomunikasi di media sosial dan cara mengelola emosi dengan baik bisa menjadi salah satu solusi untuk mengurangi penggunaan bahasa kasar di kalangan remaja.

Di rumah, peran orang tua sangat krusial. Orang tua perlu menjadi contoh dalam penggunaan bahasa yang baik dan benar. Selain itu, dialog terbuka dengan anak-anak tentang dampak negatif dari bahasa kasar dan bagaimana hal itu bisa mempengaruhi kehidupan mereka di masa depan sangat penting. Anak-anak perlu diajarkan untuk memahami bahwa penggunaan bahasa adalah cerminan dari karakter dan nilai-nilai yang mereka pegang.

Sayangnya, tidak semua orang tua atau guru menyadari atau memiliki kapasitas untuk menangani masalah ini. Beberapa dari mereka mungkin tidak menyadari seberapa sering remaja menggunakan bahasa kasar di luar rumah atau di media sosial. Oleh karena itu, kolaborasi antara sekolah, orang tua, dan komunitas lebih luas sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan ini secara bersama-sama.

Penggunaan bahasa kasar di kalangan remaja adalah fenomena yang semakin marak, didorong oleh pengaruh teman sebaya, media sosial, dan budaya pop. Meskipun remaja mungkin menganggapnya sebagai cara untuk mengekspresikan diri atau menunjukkan kebebasan, dampak negatif dari kebiasaan ini jauh lebih besar daripada yang mereka sadari. 

Bahasa kasar tidak hanya mempengaruhi hubungan sosial dan perkembangan karakter remaja, tetapi juga mencerminkan adanya penurunan dalam etika berkomunikasi yang seharusnya dijaga.

Untuk mengatasi fenomena ini, dibutuhkan upaya dari berbagai pihak, mulai dari keluarga, sekolah, hingga masyarakat. Pendidikan tentang etika berbahasa, pengelolaan emosi, dan literasi digital harus ditingkatkan. Dengan demikian, kita dapat membantu remaja memahami bahwa komunikasi yang baik dan santun adalah bagian penting dari kehidupan sosial yang sehat dan bermartabat. 

Mengembalikan etika dalam berbahasa bukan hanya soal menjaga kesopanan, tetapi juga tentang membentuk generasi muda yang lebih bijaksana dan bertanggung jawab dalam berkomunikasi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun