Mohon tunggu...
M. Jojo Rahardjo
M. Jojo Rahardjo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.

Sejak 2015 menulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan. M. Jojo Rahardjo dan berbagai konten yang dibuatnya bisa ditemui di beberapa akun medsos lain.

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Caleg Milenial untuk Indonesia yang Lebih Baik? Mungkinkah?

11 Maret 2019   14:48 Diperbarui: 12 Maret 2019   13:09 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
datanusantaramerdeka.com

Dari hampir 8.000 caleg tingkat DPR setidaknya lebih dari separuhnya adalah caleg yang berumur di bawah 30 tahun. Selain di tingkat DPR, caleg milenial juga ada di tingkat DPRD. Para caleg milenial ini konon baru terjun ke dunia politik. Apakah mereka bisa membawa perubahan baru yang lebih baik?

Siapa mereka yang disebut generasi milenial ini?

Disebut generasi milenial karena mereka lahir antara tahun 1980-1994, jadi mereka berumur sekitar 25-39 tahun saat ini. Apa yang terjadi atau berkembang pada tahun-tahun mereka lahir dan kemudian tumbuh berkembang tentu berbeda dengan sebelumnya. Saat di usia anak-anak, mereka mungkin masih mengalami masa sebelum jaman digital datang. Mereka masih sempat mengenal audio cassette, film seluloid, telpon dengan kabel, radio transistor, mesin tik manual dan lain-lain. Meski kemudian saat lebih besar sedikit mereka dikenalkan dengan dunia digital yang mulai berkembang di akhir tahun 80-an.

Mungkin generasi milenial atau tidak semua mengalami transisi dari masa non-digital ke masa digital. Teknologi yang mereka sentuh di masa remaja dan dewasa tentu berbeda dengan teknologi yang disentuh oleh generasi baby boomer yang lahir di 1944-1964 dan generasi X yang lahir di 1965-1979. Generasi milenial tentu lebih sedikit mengalami masa non-digital dibanding generasi sebelumnya (baby boomer dan gen X). Masa remaja generasi milenial ada di jaman digital sebagaimana kita tahu awal tahun 90-an ditandai dengan munculnya perangkat elektronik digital seperti pemutar musik dan video LD yang lalu disusul dengan VCD dan DVD. Juga alat komunikasi seluler tanpa kabel (HP), siaran TV digital, serta Internet. Semua teknologi ini tentu berpengaruh pada wawasan mereka, karena mereka memiliki akses pada informasi yang lebih luas dan berbeda dengan generasi sebelum mereka.

Apakah jaman digital yang mereka alami itu berguna bagi mereka? Apakah itu berguna juga bagi rakyat yang diwakilinya? Apa karakter para caleg milliennielas ini?

Dugaan saya tak banyak dari mereka yang memiliki critical thinking, karena sejak lahir mereka sudah dididik untuk memiliki authoritative thinking. Agama (tertentu) berperan melahirkan cara berpikir authoritative thinking ini. Banyak hal penting dalam hidup ini harus bersandar pada apa yang dikatakan pemuka agama. Pemuka agama ini tentu bersandar pula pada kitab-kitab suci. Akses pada berbagai sumber informasi yang luas melalui teknologi digital tak mengubah mereka untuk memiliki critical thinking, bahkan mereka tetap terkotak-kotak dalam dunia digitalnya seperti terjadi pada generasi sebelum mereka. Mereka menggunakan teknologi digital untuk membentuk kelompoknya sendiri atau masuk ke dalam kelompok dengan concern yang sama. Sekali lagi teknologi digital hanya sedikit mempengaruhi mereka untuk menjadi lebih ciritical. 

Kita bisa melihat gejala ini di perguruan tinggi negeri. Mereka menyelenggarakan kegiatan di dalam kampus untuk menyatakan pro kepada khilafah. Kita juga bisa melihat bagaimana mereka menggunakan media sosial untuk membentuk kelompok pro khilafah dan menyebarkan pahamnya. Mereka juga mencoba menunggangi tokoh seperti Prabowo untuk melawan Jokowi yang telah membekukan organisasi mereka.

Jadi apakah caleg milenial ini memiliki karakter yang lebih bagus untuk mewakili rakyat dibanding caleg dari generasi yang lebih tua? Apa yang dibutuhkan untuk memiliki karakter bagus bagi semua generasi? Apakah agama? Pendidikan tinggi? Pendidikan moral atau budi pekerti? Penegakan hukum?

kknews.cc| Tangkapan layar oleh penulis
kknews.cc| Tangkapan layar oleh penulis

Dunia yang lebih baik dengan neuroscience

Lebih dari 20 tahun neuroscience berkembang di negeri-negeri maju, berkat teknologi yang lebih dahulu berkembang, seperti terknologi fMRI dan EEG. Sekarang ilmuwan bisa lebih mudah mengamati apa yang terjadi di otak saat kita melakukan suatu aktivitas tertentu. Kita juga bisa mengamati apa yang terjadi pada pikiran (kecenderungan atau karakter) dan juga pada tubuh saat otak dalam kondisi tertentu. Neuroscience sekarang memiliki berbagai tips atau cara agar kita memiliki kecenderungan tertentu, seperti misalnya kecenderungan pada kebajikan, atau kecenderungan pada produktivitas, juga kecerdasan.

Sayangnya apa yang dihasilkan oleh neuroscience ini belum mencapai semua orang sehingga belum banyak dipraktekkan, terutama oleh mereka yang hidup di negara berkembang. Indonesia masih di urutan yang buruk dalam daftar yang dikeluarkan PBB setiap tahun: "World Happiness Report". Kata "happiness" dalam laporan itu berarti juga "positivity" atau kondisi positif di otak yang menghasilkan berbagai kecenderungan baik dalam berperilaku atau dalam berpikir dan bertindak.

Apakah para caleg milenial ini memanfaatkan apa yang telah dicapai oleh neuroscience? Saya ragu, karena belum banyak buku mengenai "positivity" ditulis dalam bahasa Indonesia. Beberapa yang ada masih ditulis dengan bahasa yang akademis. Begitu juga belum banyak artikel mengenai ini ditulis di Indonesia. Padahal cara untuk memperoleh positivity berdasarkan apa yang diberikan neuroscience amat mudah atau praktis (lihat Facebook Fanpage saya mengenai ini).

http://www.noticierostcs.com| Tangkapan layar oleh penulis
http://www.noticierostcs.com| Tangkapan layar oleh penulis
Para pemimpin atau wakil rakyat tentu diharapkan memiliki karakter yang lebih baik atau lebih memiliki positivity agar mereka bisa mendorong tumbuhnya positivity di kalangan rakyat. Namun jika para pemimpin dan para wakil rakyat ini kurang memiliki positivity, maka sulit bagi kita untuk berharap peringkat Indonesia bisa membaik dalam "World Happiness Report" yang diterbitkan PBB setiap tahun itu.

Mengapa laporan itu begitu penting? Laporan ini dibuat oleh para ahli neuroscience atau positivity, seperti John F. Helliwell,  Richard Layard, Jeffrey D. Sachs, Haifang Huang,  Shun Wang dan lain-lain. Laporan ini adalah cara baru untuk mengukur kemajuan sebuah negeri. Setidaknya ada 6 indikator yg diukur oleh PBB dalam "World Happiness Report" ini:

1. GDP per capita

2. Social Support

3. Healthy life expectancy

4. Freedom to make life choices

5. Generousity

6. Perceptions of corruption

Dalam laporan PBB ini GDP per capita diletakkan paling atas, karena ekonomi tentu akan mempengaruhi banyak indikator lain dalam kehidupan sehari-hari sebuah negeri. Semoga infrastuktur yg dibangun Jokowi menaikkan angka GDP per capita.

Kita kemarin sudah melihat pencapaian atlit-atlit kita di Asian Games. Besar kemungkinan pencapaian itu berhubungan dengan fasilitas atau infrastruktur yang sudah disediakan oleh mereka yang punya dedikasi besar pada negeri ini. Pencapaian para atlit ini memang patut dipuji, bahkan penyelenggaraan even besar ini banyak dipuji oleh dunia. Pencapaian ini menunjukkan indikator social support yang mulai terbangun.

Healthy life expectancy tentu berkaitan dengan indikator nomor 1 (GDP per capita) dan juga soal Corruption. Jika banyak korupsi maka sulit untuk menaikkan angka GDP atau menyediakan fasilitas kesehatan untuk masyarakat. Semoga BPJS bisa mewujudkan itu.

Di negeri-negeri teratas dalam rangking "World Happiness Report" pendidikan selalu menjadi prioritas utama. Setelah ekonomi membaik, tentu pendidikan yang baik menjadi mudah untuk diselenggarakan. Pendidikan yang terselenggara dengan baik menjadi tanda, bahwa tak akan ada lagi hambatan yang berarti untuk mewujudkan cita-cita atau gagasan yang dimiliki setiap warga sebuah negeri (freedom to make life choices).

Generousity adalah salah satu tanda adanya kebahagiaan (positivity). Itu sebabnya perlu diukur apakah warga sebuah negeri memiliki generousity? Sedangkan positivity adalah hasil dari beberapa pencapaian lain (indikator lain), seperti GDP per capita dan lainnya.

Adanya korupsi di sebuah negeri tentu mengganggu kenyamanan, karena muncul misalnya kecurigaan atau ketidakpercayaan pada pemerintah. Selain itu korupsi juga mengganggu kualitas layanan pemerintah kepada warganya. Maka Perception of corruption harus terlihat (terasa) minimal di mata warganya.

***

Bisakah caleg milenial ini menaikkan peringkat Indonesia di World Happiness Report? Jika bukan dengan neuroscience apakah mungkin memperbaiki Indonesia yang amburadul sejak puluhan tahun lalu ini? 

Kita tentu butuh "orang baik" untuk memperbaiki negeri ini, bukan orang yang biasa saja. Kita butuh orang yang memiliki positivity besar. Kita butuh orang yang tidak terpasung oleh athoritative thinking, yaitu mereka yang berani memperbaiki kecenderungan, karakter, atau tindakannya dengan ilmu pengetahuan, seperti neuroscience, bukan dengan mumbo jumbo dari masa belasan abad lalu. Kita butuh mereka yang bersandar pada ilmu pengetahuan yang tentu terus dikembangkan sementara authoriative thinking tertambat di masa belasan abad lalu.

M. Jojo Rahardjo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun