Mohon tunggu...
M. Jaya Nasti
M. Jaya Nasti Mohon Tunggu... mantan profesional -

Hanya seorang kakek yang hobi menulis agar tidak cepat pikun

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Saatnya KPK Dibubarkan?

6 Februari 2015   16:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:43 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bareskrim Mabes Polri telah menetapkan Wakil Ketua KPK Bambang Wijojanto (BW) sebagai tersangka dalam kasus kesaksian palsu Pilkada Kabupaten Kotawaringin Barat. Sebentar lagi, pimpinan KPK lainnya, termasuk ketuanya Abraham Samad hampir dapat dipastikan akan ditetapkan pula sebagai tersangka. Maka habislah pimpinan KPK.  Institusi pemberantas korupsi itu langsung lumpuh karena setiap keputusan yang diambil oleh KPK memerlukan tanda tangan seluruh pimpinan KPK,  sesuai prinsip kolektif kolegial yang digariskan UU KPK. Proses penyidikan dan pemeriksaan terhadap saksi-saksi dan tersangka korupsi akan terhenti. Para tersangka korupsi yang ditahan KPK akan menuntut segera dibebaskan.

KPK menurut tafsir para politisi Senayan merupakan institusi yang bersifat ad hoc, meskipun dalam UU KPK istilah “ad hoc” tidak ditemukan. Pada saat UU KPK dibuat pada 2002, anggota DPR waktu itu mempunyai semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi. Hal itu dapat dilihat pada pasal-pasal UU KPK yang memberikan kewenangan yang besar kepada KPK untuk melakukan segala upaya pemberantasan korupsi,  melebihi wewenang yang diberikan kepada kepolisian dan kejaksaan, seperti penyitaan dan penyadapan tanpa meminta izin ketua pengadilan. Bahkan KPK berwewenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.

Pembentukan KPK sesungguhnya tidak terlepas dari bobroknya institusi penegak hukum lain,  khususnya kepolisian dan kejaksaan dalam pemberantasan korupsi. Alih-alih menjadi pemberantas korupsi,  yang terjadi adalah banyaknya kasus-kasus korupsi yang tidak ditindaklanjuti oleh polisi dan jaksa.  Para koruptor leluasa menjalankan perbuatan korupsi karena bisa “berbagi hasil” dengan penegak hukum. Pada ujungnya tumbuh berkembang apa yang disebut mafia peradilan, dengan 4 aktor utama yang saling berbagi hasil korupsi dengan para koruptor,  yaitu polisi,  jaksa,  hakim dan pengacara.

Dalam usia 10 tahun, meskipun berkali-kali dihantam badai, KPK telah memperlihatkan kinerja yang cukup baik dalam pemberantasan korupsi. KPK menjadi istilah yang ditakuti oleh para pelaku korupsi. Banyak kepala daerah yang mendekam di penjara karena korupsi yang mereka lakukan terendus oleh KPK. Sejumlah anggota DPR/D, pejabat negara sampai menteri korup juga tanpa ampun di masukkan ke dalam bui tanpa kompromi. Oleh karenanya tidak heran,  KPK menjadi satu-satunya lembaga pemberantasan korupsi yang dipercayai dan didukung oleh rakyat. Sebaliknya,  KPK menjadi lembaga hukum yang sangat dibenci oleh para koruptor,  karenanya KPK harus dilemahkan atau kalau perlu dihancurkan.

Sementara itu,  dalam waktu yang sama,  hampir tidak ada perbaikan dalam kinerja kepolisian dan kejaksaan. Para oknum polisi masih tetap melakukan pungli dan pemerasan kepada masyarakat, baik pengguna kendaraan yang melanggar aturan,  maupun rakyat yang tertangkap karena tersangkut tindak pidana tertentu. Dalam hal ini,  yang berkuasa adalah uang. Tanpa uang hukuman menjadi berat. Dengan uang, hukuman bisa menjadi sangat ringan atau bahkan bebas dari hukuman.  Perkara-perkara korupsi yang ditangani oleh polisi dan jaksa bisa tidak diproses asalkan mampu menyediakan uang yang diminta oleh oknum polisi dan jaksa.

Pada setiap tingkat proses hukum selalu ada ruang negosiasi antara terdakwa koruptor dengan oknum kepolisian,  kejaksaan dan juga hakim yang akan memutus perkara, dimediatori oleh para pengacara busuk yang juga ikut kebagian hasil korupsi. Merekalah yang disebut-sebut sebagai mafia pengadilan yang eksis di seluruh tingkat pengadilan dari pengadilan negeri sampai MA.

Dalam perjalanannya, tidak terhindarkan terjadinya gesekan dengan kepolisian.  Hal itu bisa disebabkan adanya wewenang KPK mengambil alih perkara korupsi yang dibiarkan diam atau tidak ditindaklanjuti oleh polisi dan jaksa, seperti skandal korupsi simulator SIM.  Gesekan bisa pula terjadi jika perkara korupsi melibatkan oknum perwira polisi, seperti kasus Susno Duadji,  Joko Susilo bersama Didik Purnomo dan terakhir Budi Gunawan (BG) yang diusulkan dan disetujui DPR menjadi Kapolri, meski menyandang status tersangka kasus korupsi. BG sendiri sudah lama terendus dan diberitakan media masa sebagai salah satu jenderal polisi pemilik rekening gendut.

KPK sendiri sebagai institusi penegak hukum sebenarnya mempunyai posisi yang lemah dan rentan untuk dihancurkan. Hal itu disebabkan KPK yang mempunyai struktur organisasi sederhana dengan 5 orang pimpinan. Para penyidik KPK juga sangat terbatas hanya sekitar 100 orang saja. Bandingkan dengan polisi yang jumlahnya lebih dari 400 ribu orang.

Para pimpinan KPK dapat dengan mudah dikriminalisasi dengan alasan-alasan tertentu. Jika mereka ditetapkan sebagai tersangka maka mereka harus berhenti sementara dari jabatan sebagai pimpinan KPK. Apabila sebagian besar atau seluruhnya dijadikan tersangka perbuatan kriminal, maka habislah KPK. Itulah yang akan terjadi pada gesekan terakhir KPK dengan Kepolisian.

Persoalan ini pada akhirnya terpulang kepada Presiden Jokowi yang maju-mundur dalam mengambil keputusan. Apalagi sejak didatangi langsung oleh para ketua umum parpol KIH ke istana, terlihat semakin ragu dan gagap. Ia kembali menunda membuat keputusan sampai ia menyelesaikan kunjungan ke luar negeri selama seminggu.

Sekarang keberpihakan Jokowi sedang diuji. Dalam waktu dekat kita akan melihat langkah kebijakan yang diambil Presiden.  Bisa saja Presiden membiarkan KPK bubar dengan sendirinya, setelah para pimpinannya dinyatakan sebagai tersangka perbuatan melanggar hukum oleh kepolisian. Selanjutnya urusan pemberantasan korupsi diserahkan kembali sepenuhnya kepada kepolisian dan kejaksaan.

Jika Presiden memutuskan kebijakan demikian, maka benarlah segala tudingan bahwa Jokowi adalah presiden boneka,  karena ia hanyalah petugas partai. Karenanya, ia dengan mudah mengkhianati janji-janjinya kepada rakyat yang memilihnya,  yang mendambakan dipimpin oleh seorang presiden yang akan menegakkan hukum dan menjalankan pemerintahan yang bersih dari korupsi.

Atau sebaliknya, Presiden memutuskan untuk mengangkat calon Kapolri baru yang relatif bersih dan tidak menjadi tersangka korupsi. Lalu Presiden melakukan langkah penyelamatan KPK,  misalnya menerbitkan Perppu untuk pengangkatan pimpinan sementara KPK dan membentuk tim seleksi calon pimpinan KPK yang baru.

Semuanya terserah Presiden,  karena seluruh pimpinan DPR sudah menyatakan akan mendukung kebijakan apapun yang diputuskan oleh Presiden. Tim Independen yang bertugas memberi nasehat juga sudah menyampaikan saran dan rekomendasi agar tidak melantik BG menjadi Kapolri, dan selamatkan KPK.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun