Pameran GIIAS (Gaikindo Indonesia International Auto Show) 2025 baru saja usai. Namun gemanya masih terasa, terutama di benak para calon konsumen yang saat ini tengah berada di persimpangan: haruskah membeli mobil China yang makin menggoda, atau tetap setia pada mobil Jepang yang selama ini dikenal tahan banting dan punya nilai jual kembali tinggi?
Pameran tahun ini menjadi panggung besar bagi merek-merek China seperti Wuling, Chery, BYD, BAIC, GAC Aion, dan banyak lagi. Mereka tampil penuh percaya diri dengan booth luas, teknologi canggih, desain stylish, dan yang tak kalah penting: "harga gila" yang sangat kompetitif. Di sisi lain, merek Jepang seperti Toyota, Honda, Mitsubishi, dan Suzuki tetap jadi magnet, tetapi dengan strategi yang lebih konservatif.
Sebagai calon pembeli (baca: penggemar otomotif), jujur saja, saya dibuat gamang. Di satu sisi, saya ingin mobil yang fitur-fiturnya lengkap dan modern. Ada sunroof, kamera 360, ADAS (Advanced Driver Assistance System), interior elegan, yang semuanya bisa saya dapatkan di mobil China seharga Rp 200-300 jutaan. Di sisi lain, ada kekhawatiran soal keandalan jangka panjang, ketersediaan suku cadang, dan nilai jual kembali. Di sinilah loyalitas pada merek Jepang mulai goyah. Mobil Jepang kini terasa mahal untuk fitur yang minim. Seolah kita dipaksa membayar nama besar.
Tapi apakah ini hanya sekadar selera, atau ada faktor lain yang lebih besar?
Pemerintah dan Dorongan Kendaraan Listrik
Pemerintah Indonesia saat ini tengah gencar mendorong adopsi kendaraan listrik. Melalui Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2019 dan sejumlah kebijakan turunan, insentif diberikan untuk kendaraan listrik berbasis baterai (BEV). Ini termasuk bebas pajak, subsidi pembelian, dan kemudahan impor untuk komponen atau unit tertentu. Siapa yang paling sigap menangkap peluang ini? Merek China.
Wuling menjadi pionir dengan Air EV yang kini sering kita jumpai sebagai mobil operasional pemerintah atau pribadi. Disusul oleh BYD yang agresif masuk dengan lineup mobil listrik murni, bahkan dengan janji membangun ekosistem lokal. Mobil China membaca arah angin dengan cerdik. Mereka melihat bahwa elektrifikasi adalah kunci masa depan otomotif Indonesia.
Sebaliknya, merek Jepang cenderung berhati-hati. Mereka lebih memilih mengedepankan teknologi hybrid. Toyota dan Honda misalnya, baru akan benar-benar serius dengan BEV dalam beberapa tahun ke depan. Ini menimbulkan kesan bahwa mereka agak "telat panas".
Lalu, Mobil Seperti Apa yang Dibutuhkan Indonesia? Tentu Indonesia bukan cuma Jakarta. Jalanan sempit dan rusak, infrastruktur terbatas, dan kebutuhan mobilitas keluarga masih menjadi kebutuhan utama. Karena itu, mobil yang ringkas, irit, praktis, dan terjangkau tetap jadi pilihan paling realistis.
Mobil listrik bisa menjadi jawaban, tetapi hanya jika harganya masuk akal dan infrastrukturnya tersedia. Saat ini, mobil seperti Wuling Air EV, Binguo, atau BYD Atto1 yang bikin gempar karena harga murahnya, cukup menggoda untuk kebutuhan harian dalam kota. Tapi untuk perjalanan luar kota, konsumen masih cenderung memilih mobil bensin dengan kapasitas mesin dan kabin yang lebih besar.
Akankah Konsumen Indonesia Berani Melangkah?
Survei dari MarkPlus Insight (2024) menyebutkan bahwa 52% konsumen Indonesia masih meragukan daya tahan dan layanan purna jual mobil China. Namun, 68% juga mengaku tertarik karena fitur dan harga yang ditawarkan.
Artinya, pertarungan belum selesai. Mobil China sudah merebut perhatian, tapi belum sepenuhnya merebut hati. Jika mereka mampu membuktikan after-sales yang mumpuni dan konsisten dalam membangun ekosistem, bukan tidak mungkin dominasi Jepang akan mulai tergeser.
Bagi saya---dan mungkin banyak konsumen lain---tahun 2025 adalah tahun yang menentukan. Tahun di mana loyalitas mulai diuji oleh akal sehat dan logika finansial. Apakah tetap membayar mahal demi merek, atau mencoba yang baru dengan harapan lebih tinggi?
Pertanyaan ini mungkin akan terjawab dalam beberapa bulan ke depan. Tapi satu hal pasti: peta persaingan otomotif Indonesia sedang bergeser. Kita para konsumen berada di kursi pengemudi untuk menentukan ke mana arah pasar akan melaju.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI