Mohon tunggu...
Miss Rochma
Miss Rochma Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Semua orang yang saya kenal adalah orang yang luar biasa dalam pemikirannya sendiri. Tulisan saya dengan gaya bahasa yang berbeda? disini : http://www.mamaarkananta.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Perempuan Masjid

21 Agustus 2011   04:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:36 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_126016" align="alignnone" width="300" caption="http://baltyra.com/2010/02/06/my-spiritual-journey-menjadi-tamu-allah-part-10/"][/caption]

Perempuan tua yang sedang duduk di sebuah kursi dengan dinding sebagai sandarannya itu, aku lebih mengenalnya 4 tahun yang lalu meskipun aku mengetahui tentang dirinya semenjak aku masih kecil. Di masjid ini, ketika itu kami berada pada satu shof dan aku berada di sebelah kirinya. Di malam keduapuluh tiga di bulan Romadhon, sholat isya’ berjamaah sudah pada roka’at ke tiga dan aku datang dengan tergesa-gesa. Daripada harus maju ke barisan depan dan terkena resiko tertinggal satu roka’at lagi, aku gelar sajadahku di samping perempuan tua itu. Usai sholat terawih dan bersalam-salaman dengan jamaah yang lain, perkenalan kami berawal.

Namanya Mbah Ngat. Ngatiman lebih tepatnya. Aku memanggilnya dengan kata Mbah karena memang umurnya yang layak dipanggil seperti itu. Perempuan tua yang sejak mudanya sudah aktif menjadi perempuan masjid, sebutan bagi warga kampung kami yang menghabiskan banyak waktunya untuk beribadah di masjid, mencetuskan berbagai ide untuk pengembangan masjid bahkan seolah-olah masjid ini adalah miliknya. Semasa aku masih kecil dan menjadi salah satu murid di Taman Pendidikan Al-Qur’an yang terselenggara di halaman masjid, aku melihat sosok Mbah Ngat sebagai sosok yang kuat karena mampu membaca al-Qur’an tanpa berhenti selama dua jam.

Dan sekarang, setelah aku kembali dari perantauan studiku, aku tetap melihat sosok Mbah Ngat sebagai perempuan yang kuat. Keterbatasan dalam cepat langkahnya, membuat dia harus mampu mengatasi rasa malasnya dengan cara berangkat ke masjid lebih awal. Sebelum waktu sholat Asar tiba. Lalu meluangkan waktunya untuk mengaji dan mengucapkan berbagai macam wirid. Dan predikat sosok yang kuat itu semakin melekat padanya, setelah aku tahu bahwa sudah hampir dua tahun ini para ta’mir masjid menyediakan sebuah kursi duduk untuknya dengan sandaran di punggung karena dirinya sudah tak mampu lagi sholat dengan berdiri. Kursi ini disediakan sebagai pengganti kursi tanpa sandaran yang biasa Mbah Ngat pakai tetapi membuatnya selalu tidak pernah berada dalam shof karena mencari dinding sebagai sandarannya. Menurutku, itu sebuah hadiah kecil bagi Mbah Ngat karena sudah menjadi panutan kebaikan di desa kami.

Dan di malam ketigapuluh bulan Romadhon tahun ini, aku masih menyaksikan kekuatan Tuhan mengalir pada urat nadi Mbah Ngat. Gerakan sholat yang mulai melambat, tetap tidak menjadi halangan baginya untuk memenuhi 20 roka’at sholat terawih dan 3 roka’at sholat witir.

***

Setelah menyelesaikan mencuci setumpuk piring dan gelas yang terpakai ketika sahur tadi, sebuah sms datang di nomer Telkomsel yang sudah 6 tahun mendampingiku. Sebuah kabar yang mengejutkan dari teman masa kecilku bahwa Mbah Ngat telah menghembuskan nafas terakhirnya ketika dirinya hendak melangkah keluar dari masjid.

Terdiam sejenak setelah berucap kalimat Innalillahi Wainnailaihi Rojiun, hanya itu penghargaan terakhirku untuknya. Kuselesaikan cucianku dan bergegas berganti pakaian untuk segera menuju rumah Mbah Ngat yang letaknya empat gang dari rumahku.

Dalam langkah cepatku, aku teringat percakapan terakhir kami semalam ketika aku mendampinginya pulang setelah sholat terawih. Setelah aku sedikit bercerita tentang kekhawatiranku dalam mendapatkan jodoh meskipun gelar Magister sudah aku raih dengan beasiswa dari sebuah perusahaan makanan.

“Nduk, Tuhan itu Maha Kuat dan Maha Pemberi. Mintalah apapun pada-Nya, InsyaAllah Dia akan memenuhi permintaanmu.”

“Meskipun permintaan itu Dia tunda kan, Mbah?”

“Ya, meskipun Dia menundanya. Dan kau tau Nduk, Dia menunda karena Dia sayang padamu, bukan mengabaikanmu. Hanya saja, jangan lupa untuk selalu berdoa dan berfikiran yang baik pada-Nya.” Ucapnya dengan sebuah senyum tulus sambil menggenggam kelima jari di tangan kiriku.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun