Pemandangan cukup umum: ruang kelas akhir pekan diisi mahasiswa-mahasiswa berusia matang, penuh pengalaman kerja, dan wajah-wajah yang kelelahan karena baru saja meninggalkan rutinitas kantor.
Mereka datang bukan karena ingin jadi ilmuwan atau aktivis kampus. Mereka hanya butuh satu hal: pengakuan melalui ijazah.
Namun, sistem pendidikan tinggi kita, terutama sistem akreditasi, menuntut lebih dari sekadar kelulusan. Ia menuntut luaran: publikasi ilmiah, partisipasi dalam kompetisi akademik, kegiatan organisasi mahasiswa, hingga keterlibatan aktif dalam masyarakat. Di sinilah program studi (prodi) “kelas akhir pekan” menghadapi dilema besar.
Antara Mahasiswa Reguler dan Mahasiswa Dewasa
Dalam sistem pendidikan tinggi, mahasiswa reguler (kuliah Senin sampai dengan Jumat) baik program vokasi, sarjana maupun pasca sarjana, biasanya masih muda, belum bekerja, dan memiliki waktu serta energi untuk aktif dalam berbagai kegiatan kampus. Mereka inilah yang seringkali diandalkan untuk memenuhi indikator luaran seperti publikasi mahasiswa, prestasi lomba, atau kontribusi pada kegiatan kampus.
Sebaliknya, mahasiswa “kelas akhir pekan”, yang umumnya sudah bekerja, memiliki keterbatasan waktu, energi, mungkin juga dana. Namun, tidak selalu berarti mereka miskin motivasi. Di antara mereka umumnya
Menjalani pekerjaan penuh waktu dan memiliki tanggung jawab keluarga.
Sulit mengikuti kegiatan di luar kuliah, apalagi penelitian atau lomba.
Kurang tertarik untuk berorganisasi, menulis karya ilmiah, atau terlibat dalam proyek kampus.
Dalam beberapa kelas akhir pekan di kampus kecil, mahasiswa banyak juga yang mengalami "putus-sambung studi" karena beban hidup yang kompleks. Yang mengkhawatirkan, mahasiswa seperti ini rentan mengalami keterlambatan masa studi. Jika melewati ambang waktu tertentu, sistem Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDIKTI) secara otomatis menghapus status aktif mereka. Hal ini tidak hanya berdampak pada mahasiswa, tetapi juga pada reputasi prodi di mata lembaga akreditasi.