Perjalanan dari Museum Majapahit menuju Candi Bajang Ratu tidak terlalu jauh. Jalanan Trowulan yang teduh membuat perjalanan terasa ringan. Di kiri-kanan, rumah penduduk berdiri dengan halaman luas dan pohon jambu yang rimbun. Semakin dekat ke lokasi, suasana terasa semakin tenang, seperti memasuki wilayah yang dijaga waktu.
Gerbang Candi Bajang Ratu berdiri anggun di tengah taman hijau. Warnanya merah bata, khas peninggalan Majapahit, memantulkan cahaya matahari pagi dengan lembut. Bentuknya tinggi dan ramping, mirip gapura paduraksa, pintu masuk yang dipercaya menjadi lambang peralihan antara dunia fana dan dunia suci. Dari kejauhan saja, keanggunannya sudah memikat.
Kami melangkah pelan di jalan setapak menuju candi. Semakin dekat, detail ukiran di dinding bata mulai terlihat jelas, motif kala di atas pintu, relief bunga, serta pahatan yang masih bertahan meski usia bangunan ini sudah ratusan tahun. Petugas setempat bercerita, Candi Bajang Ratu diyakini dibangun untuk menghormati Raja Jayanegara, raja kedua Majapahit, yang wafat pada abad ke-14.
Berdiri di bawah gapura itu, ada rasa kagum yang sulit dijelaskan. Di sini, kita seperti menatap langsung gerbang masa lalu. Batu-batu bata merah tersusun dengan presisi luar biasa tanpa semen, tapi tetap kokoh menahan waktu. Angin yang berhembus melewati lengkung pintu membawa aroma rumput dan sedikit wangi tanah kering, menambah kesan magis pada suasana siang itu.
Kami berfoto sejenak, lalu hanya diam menikmati hening. Di sekitar candi, pepohonan tumbuh rapi dan suara burung sesekali terdengar. Tak ada hiruk pikuk wisata besar, hanya ketenangan yang menenangkan pikiran. Dari sini, terasa jelas bahwa Bajang Ratu bukan sekadar candi, tapi simbol pintu menuju masa lalu, tempat di mana kebesaran Majapahit masih bernafas pelan di antara bata merahnya.
Saat kami meninggalkan tempat ini, matahari mulai naik tinggi. Candi Bajang Ratu berdiri gagah di belakang, seolah melambaikan salam perpisahan. Di hati, tertinggal rasa hormat dan kagum pada karya tangan manusia yang sederhana tapi abadi. Setiap langkah menjauh dari Trowulan, serasa membawa sepotong sejarah yang ikut pulang bersama kami.
Â
Â