Mohon tunggu...
Misbahuddin Moerad
Misbahuddin Moerad Mohon Tunggu... Dosen, Traveling dan Pendaki

Pendaki Gunung

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dari Logat ke Identitas: Cerita Kita sebagai Bangsa Multi Bahasa

15 Oktober 2025   16:56 Diperbarui: 15 Oktober 2025   16:56 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Artikel ini saya buat untuk mengikuti lomba dalam rangka Bulan Bahasa.

Beberapa waktu lalu, saya duduk di sebuah warung kopi kecil di Martapura. Di meja sebelah ada dua orang bapak-bapak berbicara dengan logat Banjar yang kental, "Ikam handak makan pakai iwak haruan kah nasi kuningnya?" (Kamu mau makan nasi  kuning pakai ikan Gabus) .Tak jauh dari mereka, sekumpulan anak muda bercanda dalam Bahasa Indonesia yang diselingi bahasa gaul Jakarta. Penjualnya sendiri, dengan senyum ramah, menimpali dalam campuran bahasa Banjar dan Melayu.

Saya tersenyum, dalam satu ruang kecil di warung itu. Ada begitu banyak ragam bahasa dalam kehidupan yang senantiasa berdampingan. Tak ada yang mendominasi, tak ada yang menyingkirkan. Semuanya mengalir alami, seperti kehidupan di negeri yang memang dibangun dari keberagaman.

Itulah wajah Indonesia yang sesungguhnya. Negara multi bahasa yang tidak sekadar punya banyak kata, tapi juga banyak cara untuk merasa dan memahami.

Bahasa adalah napas budaya. Setiap logat membawa sejarah, setiap kata menyimpan nilai. Dari "Horas" di Sumatera, "Sampurasun" di Jawa Barat, "Tabik pun" di Lampung, hingga "Wa wa" di Papua.  Semuanya adalah cara bangsa ini menyapa dunia dengan kehangatan yang berbeda-beda. Namun di antara ratusan bahasa daerah itu, kita memiliki satu keseragaman yaitu Bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia bukan muncul begitu saja. Ia lahir dari semangat pemuda-pemuda 1928 yang sadar bahwa bangsa besar ini hanya bisa bersatu jika punya satu bahasa kesatuan. Sejak saat itu Bahasa Indonesia menjadi simbul persatuan. Bukan untuk menutupi perbedaan, namun untuk menjaganya agar tetap saling terhubung.

Seiring waktu, bahasa kita juga berevolusi. Di media sosial, di kafe, di kampus, kita mendengar percampuran bahasa yang luar biasa:

"Kayaknya dia lagi mood swing, tapi aku stay cool aja deh."

Fenomena seperti ini lucu tapi menarik, menggambarkan betapa cepatnya bahasa beradaptasi. Campuran antara Bahasa Indonesia, Inggris, bahkan kadang bahasa Korea, menjadi gaya baru anak muda urban. Ini bukan hal buruk, tapi menjadi pengingat bahwa identitas berbahasa kita kini semakin cair.

Yang perlu dijaga adalah kesadaran bahwa di balik setiap kata asing yang kita adopsi, ada bahasa sendiri yang tak kalah indah. Bahasa Indonesia punya ribuan kata yang lentur dan kaya makna. Kita punya "gawai" alih-alih "gadget", "swafoto" alih-alih "selfie", dan "daring" alih-alih "online". Kata-kata ini menunjukkan bahwa Bahasa Indonesia mampu menyesuaikan diri dengan zaman tanpa kehilangan martabatnya.

Di sisi lain, bahasa daerah juga perlu dijaga. Banyak anak muda yang kini tak lagi fasih berbahasa ibu. Padahal, di sanalah tersimpan nilai-nilai luhur yang tak bisa digantikan. Saya pernah mendengar seorang guru di Flores berkata:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun