Sebagai warga yang sudah lama tinggal di Surabaya, saya masih ingat masa ketika kota ini menjadi contoh nasional dalam hal tata kelola, kebersihan, dan efisiensi birokrasi.Â
Surabaya dulu sering dijadikan benchmark oleh kota lain. Tapi sekarang, saya melihat tanda-tanda kelelahan birokrasi dan stagnasi arah pembangunan.
Ruang publik terasa tak banyak berubah, infrastruktur baru hampir tidak terdengar, dan yang mencolok justru agenda-agenda seremonial yang terlalu sering.Â
Banyak warga mulai merasa jenuh melihat wali kota hadir di acara-acara kecil yang seharusnya cukup diwakilkan pejabat teknis.
Sementara itu, masalah-masalah besar kota --- mulai dari kemacetan, banjir musiman, kesenjangan wilayah barat-timur, hingga menurunnya daya saing investasi --- seperti dibiarkan tanpa gebrakan berarti.
Warga Tidak Butuh Acara, Kami Butuh Arah
Bagi saya, kritik ini bukan semata-mata ketidaksukaan terhadap sosok wali kota, melainkan bentuk kepedulian terhadap arah pembangunan kota yang saya cintai.Â
Saya yakin banyak warga Surabaya merasakan hal yang sama: kami tidak butuh banyak acara, kami butuh arah yang jelas.
Kota ini terlalu besar untuk dikelola dengan cara seremonial. Surabaya butuh pemimpin yang berani mengambil keputusan besar, yang mengembalikan semangat kerja keras, bukan hanya membangun citra.
Penurunan PAD dan rencana berutang hanyalah gejala dari masalah yang lebih dalam --- hilangnya fokus dan semangat efisiensi.Â
Jika tidak segera dikoreksi, Surabaya bisa kehilangan momentum yang dulu membuatnya maju di bawah kepemimpinan yang visioner.
Saatnya Kembali ke Esensi Pembangunan
Pembangunan sejatinya bukan sekadar mempercantik kota dengan acara atau dekorasi.Â