Sebagai warga Surabaya, saya merasa semakin khawatir melihat arah kebijakan Pemerintah Kota (Pemkot) dalam beberapa tahun terakhir.Â
Keputusan menurunkan target Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam Rancangan APBD Murni 2026 bukan sekadar catatan teknis anggaran, melainkan pertanda adanya masalah mendasar dalam manajemen keuangan dan tata kelola ekonomi kota.Â
Dari semula Rp8,3 triliun dalam APBD Perubahan 2025, target itu kini diturunkan menjadi Rp8,158 triliun.
Sekilas mungkin penurunan itu tampak kecil, hanya ratusan miliar. Namun bagi saya, angka tersebut mencerminkan arah kebijakan yang mundur---bahkan mengkhawatirkan.Â
Bagaimana mungkin sebuah kota sebesar Surabaya, dengan potensi ekonomi yang luar biasa, justru menurunkan target pendapatannya di tengah pertumbuhan kota yang terus meningkat?
PAD seharusnya menjadi barometer kemandirian fiskal daerah. Ketika targetnya menurun, artinya pemerintah kota seolah pesimis terhadap kemampuannya menggali potensi ekonomi masyarakat.Â
Padahal, konsep anggaran berimbang (balanced budget) seharusnya menjadi pedoman: pendapatan harus tumbuh seiring dengan kebutuhan belanja. Tapi yang terjadi justru sebaliknya --- belanja naik, PAD turun, dan pintu utang mulai dibuka.
Opsi Utang yang Mengkhawatirkan
Hal yang membuat publik semakin resah adalah rencana Pemkot Surabaya mengajukan utang sebesar Rp1,5 triliun. Di atas kertas, utang bisa jadi instrumen pembiayaan. Tapi dalam konteks ini, langkah tersebut tampak seperti upaya menambal defisit akibat lemahnya optimalisasi PAD.
Saya masih ingat betul bagaimana pada masa kepemimpinan Tri Rismaharini, kota ini bisa membangun infrastruktur besar tanpa harus berutang sepeser pun.Â
Proyek-proyek besar seperti Jalan MERR dengan biaya Rp425 miliar, Frontage Road Ahmad Yani Rp60 miliar, Underpass Mayjen Sungkono Rp77 miliar, hingga proyek JLLT dan JLLB senilai puluhan miliar---semuanya dibiayai dari APBD murni.
Itu menunjukkan bahwa dengan manajemen keuangan yang kuat dan fokus pada prioritas pembangunan, Surabaya mampu berdiri di atas kakinya sendiri. Kini, ketika PAD justru menurun dan utang diajukan, sulit rasanya menahan rasa kecewa.