Â
Belanja adalah salah satu aktivitas yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari. Ada orang yang menjadikannya sebagai kebutuhan rutin, ada pula yang melihatnya sebagai bentuk hiburan.Â
Dalam budaya modern, belanja bahkan sering dianggap sebagai sarana melepas penat setelah bekerja keras.Â
Tak heran jika pusat perbelanjaan, marketplace, hingga media sosial selalu dipenuhi dengan strategi pemasaran yang dirancang untuk membuat kita tertarik membeli.
Namun, di balik kesenangan itu, ada fenomena yang semakin marak, yaitu belanja impulsif.Â
Belanja impulsif adalah kebiasaan membeli sesuatu tanpa perencanaan, biasanya karena tergoda promosi, diskon kilat, atau sekadar karena tampilannya terlihat menarik.Â
Sekilas tidak berbahaya, tapi kebiasaan ini bisa berdampak besar pada kondisi finansial, terutama jika dilakukan berulang-ulang. Barang-barang kecil yang dibeli tanpa rencana sering kali menumpuk menjadi pengeluaran besar di akhir bulan.
Fenomena ini semakin kuat di era digital. Dengan hanya sekali klik, barang apa pun bisa sampai di depan rumah dalam hitungan jam atau hari.Â
Promo kilat dengan hitungan mundur, notifikasi diskon tengah malam, hingga program gratis ongkir adalah trik psikologis yang membuat kita merasa rugi jika tidak segera membeli.Â
Di titik inilah, belanja tidak lagi didorong oleh kebutuhan nyata, melainkan oleh rasa takut kehilangan kesempatan atau yang dikenal dengan istilah fear of missing out (FOMO).
Dampak Psikologis Belanja Impulsif
Belanja impulsif tidak hanya berdampak pada kondisi dompet, tetapi juga pada kesehatan mental. Saat membeli barang baru, otak kita melepaskan hormon dopamin yang menimbulkan rasa senang sesaat.Â