Mohon tunggu...
Muhamad Misbah Al Amin
Muhamad Misbah Al Amin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Implikasi Hukum Perdata terhadap Pernikahan Hamil di Luar Nikah: Apa yang Harus Diketahui?

21 Februari 2023   14:08 Diperbarui: 21 Februari 2023   14:12 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PEMBAHASAN

Dari banyaknya hukum di Indonesia, terdapat kapasitas dan wilayah-wilayahnya sendiri guna penertiban dan menjadikan kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara menjadi aman, damai, sebagaimana yang diharapkan. Status perkawinan wanita hamil dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia disebutkan pada Bab VIII Pasal 53 ayat 1, 2 dan 3 yaitu :

1. Seorang wanita hamil diluar nikah dapat dikawinkan dengan pria menghamilinya;
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebutkan pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Ketentuan Pasal 53 KHI tentang kebolehan melangsungkan perkawinan bagi wanita hamil ini bisa dikategorikan kontroversial karena akan melahirkan perdebatan dan silang pendapat dari berbagai kalangan.


Pendapat yang kontra tentu akan merasa keberatan dengan ketentuan ini yang dinilai longgar dan cenderung kompromistis. Bisa dimungkinkan ketentuan ini justru akan dijadikan payung hukum legalisasi perzinaan Pada dasarnya kebolehan kawin hamil dalam pasal 53 KHI tersebut sedikit banyak beranjak dari pendekatan kompromistis dengan hukum Adat.

Kompromi tersebut didasarkan agar ketentuan hukum Islam lebih dekat dengan kehidupan masyarakat. Sikap dan langkah yang demikian dapat dinyatakan dalam suatu ungkapan: "mengislamisasikan hukum Adat sekaligus berbarengan dengan upaya mendekatkan hukum Adat kedalam Islam". Dengan memadukan nilai hukum Islam dan hukum Adat diharapkan akan menimbulkan nilai-nilai normatif ditinjau dari segi sosiologis,religius,yuridis,keadilan dan kemanusiaan, maupun modernisasi dan paham globalisasi sangat relevan membina keutuhan, keseimbangan kerukunan serta ketertiban kehidupan manusia pada umumnya.

Yang menjadi penyebab terjadinya pernikahan wanita hamil di luar nikah di  yaitu: pertama, Kurangnya pemberian pengetahuan pendidikan agama Islam dari orangtua kepada anak-anaknya. Kedua, kurangnya perhatian orang tua, terutama kasih sayang seorang bapak kepada anak wanitanya sehingga mereka mencari lelaki lain (pacar) yang bisa menyayangi mereka yang menyebabkan mereka terjerumus pada prilaku seks bebas. Ketiga, rasa sayang, cinta, dan suka sama suka kepada pasangan masing-masing, Keempat, adanya kesempatan untuk melakukan hubungan seksual.Proses Pernikahan Wanita Hamil Di Luar Nikah. 2. Proses pernikahan wanita hamil di luar nikah sama seperti pernikahan pada umumnya, hanya saja apabila mempelai masih dibawah umur 19 tahun, harus ada dispensasi hukum dari Pengadilan Agama dengan cara mengikuti sidang di Pengadilan Agama terlebih dahulu, setelah adanya dispensasi tersebut maka kedua mempelai baru dinikahkan seperti pernikahan umumnya. 3. Solusi Untuk Menekan Terjadinya Pernikahan Wanita Hamil diluar Nikah yaitu: Pertama, untuk orang tua agar selalu mengawasi anak-anaknya supaya tidak terjerumus dalam perbuatan zina, Kedua, hendaknya guru disekolah mensosialisasikan bahayanya zina. Ketiga, tidak berpacaran atau berdua-duaan dengan lawan jenis yang bukan mahram . Keempat, bila sudah memasuki usia siap menikah, orangtua hendaknya menyegerakan anaknya untuk menikah.

Dalam hal ini KUA (Kantor Urusan Agama) berpedoman pada Kompilasi Hukum Islam atau disebut juga Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 tahun 1991. Mengenai menikah dalam kondisi hamil ini dijelaskan dalam bab VIII tentang kawin hamil ini Pasal 53 dan 54.
Adapun isi dari Pasal tersebut adalah pada Pasal 53 ayat 1 menjelaskan bahwa seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Pada ayat 2 yaitu perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. Pada ayat 3 yaitu dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak dikandung lahir.
Imam Ahmad bin Hanbal yang menyatakan bahwa tidak boleh melangsungkan pernikahan antara wanita hamil karena zina dengan laki-laki sampai ia melahirkan kandungannya.
Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa menikahi wanita hamil karena zina dibolehkan bagi yang telah menghamilinya maupun bagi orang lain.
Malikiyyah, tidak sah perkawinannya kecuali dengan laki-laki yang menghamilinya dan ini harus memenuhi syarat, yaitu harus taubat terlebih dahulu.
Pendapat yang keempat dari Madzhab Hanafiyyah masih terdapat perbedaan pendaan pendapat, di antaranya :
1.    Pernikahan tetap sah , baik dengan laki-laki yang menghamili atau tidak.
2.    Pernikahan sah dengan syarat harus dengan laki-laki yang menghamili, dan tidak boleh di kumpuli kecuali sudah melahirkan.
3.    Boleh nikah dengan orang lain asal sudah melahirkan.
4.    Boleh nikah asal sudah melewati masa haid dan suci, dan ketika sudah menikah maka tidak boleh dikumpuli kecuali sudah melewati masa istibro (masa menunggu bagi seorang wanita setelah mengandung).

Pernikahan wanita hamil dapat dilihat dari berbagai perspektif, termasuk perspektif sosiologis, religius, dan yuridis.

1. Perspektif Sosiologis:
Secara sosiologis, pernikahan wanita hamil bisa dilihat sebagai hasil dari berbagai faktor, termasuk tekanan sosial, kesulitan ekonomi, dan perubahan nilai-nilai dalam masyarakat. Dalam beberapa budaya, pernikahan wanita hamil bisa menjadi cara untuk memperbaiki citra keluarga, menghindari stigma sosial, dan memperkuat hubungan antar keluarga. Namun, pernikahan wanita hamil juga dapat menjadi tanda dari ketidaksetaraan gender, terutama jika pernikahan dilakukan karena terpaksa atau tanpa pilihan.

2. Perspektif Religious:
Dalam perspektif agama, pernikahan wanita hamil bisa dilihat dengan cara yang berbeda-beda tergantung pada keyakinan dan ajaran agama yang diikuti. Dalam beberapa agama, pernikahan dianggap sebagai kewajiban dan tindakan yang baik, terutama jika kehamilan terjadi di luar nikah. Namun, dalam agama lain, pernikahan yang dilakukan karena kehamilan dapat dianggap sebagai dosa atau perbuatan yang salah.

3. Perspektif Yuridis:
Secara hukum, pernikahan wanita hamil diatur oleh undang-undang setiap negara. Di beberapa negara, pernikahan dapat dilakukan meskipun calon pengantin perempuan sedang hamil. Namun, di negara-negara lain, pernikahan wanita hamil mungkin tidak diizinkan atau dibatasi oleh hukum. Selain itu, hukum juga mengatur berbagai hal dalam pernikahan, termasuk hak-hak dan kewajiban pasangan, hak asuh anak, dan lain sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun