Mohon tunggu...
Mira Marsellia
Mira Marsellia Mohon Tunggu... Administrasi - penulis kala senggang dan waktu sedang luang

You could find me at: http://miramarsellia.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Review Buku: Dilanku, Dilanmu, Dilan Saha We lah Terserah

27 Juli 2015   13:02 Diperbarui: 27 Juli 2015   13:10 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya sih suka telat pada semua hal. Walau saya follow akun twitter Mizan dan tau ada promosi gencar soal buku baru yang berjudul Dia Adalah Dilanku, Tahun 1990 dilanjut dengan Dia Adalah Dilanku, Tahun 1991 karya Pidi Baiq, yang mana medsos sudah heboh bahas, saya masih anteng-anteng aja. Gak buru-buru beli ataupun baca. Kenapa? Ya gak kenapa-kenapa. Kalem we bro.

Contohnya saya baru beli dan baca buku Harry Potter setelah terbit buku sampai ke-4. Demikian juga Baca Lord of The Rings setelah keluar filmnya. Itupun saya engga ikut nonton filmnya, tapi baca bukunya dulu. Demikian juga buku lain dan film lain. Dan saya juga suka baca buku dari belakang, buka yang tengah baca ke belakang, lalu baru baca dari depan. Kalau bukunya bagus, saya baca lagi. Sekali lagi dan sekali lagi, ada buku yang saya baca 10 kali bolak-balik tanpa saya bosan.

Nah balik lagi soal Dilan. Jujur saja yang menggerakkan ketertarikan saya awal adalah quote dari Pidi Baiq yang tercetak di jembatan pejalan kaki di jalan Asia Afrika. Tentang Bandung yang bukan sekedar masalah letak geografis tapi juga melibatkan perasaan. Eh, itu bener banget. Bandung dan soal perasaan. Bener deh, segala tentang Bandung itu melibatkan perasaan. Gak tau deh kalau kota lain, tanya saja mas Anang dan Mas Dhani.

Kemarin saya beli buku Dilan #1 dan Dilan #2. Saya bukan cenayang. Tapi saya punya feeling banget bahwa, 1. Buku ini pasti lucu, 2. Buku ini pasti mengandung nostalgia tahun 90-an. 3. Buku ini pasti banyak cerita tentang Bandung. 4. Akhirnya pasti sedih. Bukannya ge-er. Kalau baca quote-quote Pidi Baiq yang kepuitis-puitisan, saya jadi berani taruhan dia gak bakal bikin akhir cerita garing happy ending dengan pangeran dan puteri yang hidup bahagia selamanya. Biasanya orang-orang puitis mah suka senang cerita tragis. Like a poet needs a pain, ceuk Bon Jovi mah.

Jadi mengingat hal tersebut terutama nomor 4, saya menyiapkan mental. Da saya mah suka nangis ga jelas kalau baca buku atau nonton film. Sebel banget.

Saya menikmati membaca buku Dia adalah Dilanku Tahun 1990 dan lanjut dengan judul sama kecuali tahun buku kedua itu 1991, kebetulan saya bacanya bener, engga kebalik atau dari halaman terakhir.

Serasa masuk mesin waktu, nostalgia, dan segala hal tentang kehidupan SMA saya terputar terulang kembali dengan membaca buku ini. Saya ikut menangis, tertawa, dan bahkan ngakak, karena saya masuk ke dalam cerita itu. Bukan saya ngerasa diri saya Milea. Yah mirip sih, nama saya Mira Marsellia. Terdengar satu rima ya?. Tapi saya merasa kenal, merasakan perasaannya, dan saya juga merasa mengenal Dilan, bahkan melihatnya sebagai sosok nyata.

Setting cerita ini, masa SMA dan Bandung, adalah jaman saya juga. Saya sampai curiga Pidi Baiq satu sekolah dengan saya. Saya bersekolah di Bandung, dengan pohon besar sekali di halamannya, dan saya merasakan udara Bandung yang dingin setiap pulang sekolah dengan jalanan yang tidak terlalu ramai.

Sekolah saya pun tempat geng motor jaman dulu lagi musim, dan teman-teman saya pun demikian adanya. Selalu ada Dilan di teman-teman saya, ada Akew, ada Nandan, ada Wati, dan Piyan. Bahkan Susi. Dem, dulu juga ada yang mirip banget Nandan dan dia juga jadi cover majalah, dan ada juga cewek model Susi yang mengejar-ngejar cowok teman saya dengan gaya yang sama dan hadiah yang sama.

Soal gank motor ini jadi inget barudak MoonRaker, barudak GLZ yang katanya singkatan dari Galendoz (atau Gentle Boyz? Teuing). Tukang nongkrong maen gaple, bodor dan cileupeung kadang, tapi pinter-pinter di sekolah, garandeng dan tukang garelut.

Bedanya saya dulu gak ada yang naksir kayak Dilan. Hahaha. Teu payu. Saya terlalu cupu, padahal punya adik kelas semacam Dewi Lestari dan Candil Seuries, dan lain-lainnya yang keren-keren. Engga bikin saya ikutan keren ternyata. Tapi baelah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun