Mohon tunggu...
Maria Averia
Maria Averia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi akselerasi Magister Bioteknologi di Atma Jaya

Ave adalah seorang mahasiswi Bioteknologi Unika Atma Jaya tingkat akhir dan di saat yang bersamaan mengambil program Magister Bioteknologi di Unika Atma Jaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Terapi Gen untuk Pengobatan Migrain

2 Januari 2022   00:30 Diperbarui: 2 Januari 2022   00:32 1052
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Migrain adalah suatu penyakit yang lazim dialami oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Menurut World Health Organization (WHO), migrain adalah salah satu jenis sakit kepala yang paling umum terjadi di dunia. Migrain dapat menyebabkan disabilitas tetapi seringkali dianggap sepele dan tidak diberikan pengobatan yang tepat. Prevalensi terjadinya migraine di dunia telah mencapai 18%. Migrain dapat disebabkan oleh faktor emosi seperti gelisah, tegang, dan depresi; faktor fisik seperti jetlag, aktifitas olahraga berat, dan hipoglikemia; dan adanya stimulasi sensorik seperti lampu yang sangat terang, suara yang sangat kencang, dan bau yang menyengat. Ada orang yang mengalami migrain sewaktu-waktu dan gejala yang terjadi ringan sehingga dapat disembuhkan dengan cepat, tetapi ada juga orang yang mengalami migrain dengan gejala yang berat dalam jangka waktu yang panjang sehinggga sulit untuk disembuhkan. Migrain memiliki resiko untuk menyebabkan terjadinya stroke iskemik, yang dapat terjadi ketika pembuluh darah ke otak tersumbat oleh bekuan darah. Migrain yang sering terjadi akan mengaktifkan trombosit sehingga terjadi pembekuan darah. Migrain dapat terjadi pada siapa saja, tidak hanya pada orang dewasa, bahkan data menunjukkan bahwa migrain dapat terjadi pada rentang usia 13-19 tahun. Di Indonesia sendiri, penelitian mengenai migrain dan pengobatannya masih sangat jarang dilakukan.

Gambar 1 Siklus terjadinya migrain (Abyuda dan Kurniawan 2021).

Meskipun migrain menjadi penyebab terjadinya disabilitas kedua di dunia dan statusnya sebagai isu kesehatan publik, hanya sedikit pengobatan migrain secara spesifik yang dikembangkan. Pengobatan pada migrain biasanya dilakukan dengan pemberian obat secara oral dengan indikasi yang sangat luas dan pada awalnya tidak dirancang untuk migrain. Hal ini menyebabkan penyembuhan migrain pada pasien berjalan lebih lambat. Pada tahun 1990, kelompok obat golongan Triptan mulai digunakan sebagai pengobatan migrain. Triptan merupakan senyawa agonis yang dapat berikatan dan mengaktifkan reseptor dari serotonin. Triptan sendiri merupakan obat yang belum secara spesifik menargetkan penyembuhan migrain. Kontraindikasi dari obat golongan triptan yaitu penyakit jantung koroner, hipertensi yang tidak terkontrol, dan memiliki penyakit pada pembuluh darah di otak. Penggunaan triptan sebagai obat migrain tidak selalu 100% berhasil. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lipton et al. 2019 menyatakan bahwa sebanyak 34% pasien migrain yang diberikan obat golongan triptan tidak merasakan efek apapun, migrain juga dapat terjadi kembali pada 30-40% pasien, dan sekitar 52% pasien mengalami efek samping penggunaan obat golongan triptan seperti pusing dan mual. Tingkat toleransinya dalam tubuh manusia, tingkat efikasi yang tendah, dan ada kemungkinan terjadinya sakit kepala akibat penggunaan

berlebihan merupakan masalah yang masih dimiliki oleh triptan dan obat analgesik nonspesifik lainnya. Hal ini jugalah yang  menyebabkan pengobatan migrain pada pasien menjadi lama dan sulit.

Melihat adanya kekurangan dari obat golongan triptan, dikembangkanlah kelompok obat gepant yang secara khusus menargetkan calcitonin-gene-related peptide (CGRP). Studi mengenai CGRP mulai dilakukan karena sudah ditemukan bahwa CGRP diproduksi hampir di seluruh bagian sel saraf dan juga di bagian otak yang terserang saat terjadi migrain. CGRP adalah neuropeptida yang tersusun atas 37 asam amino dan merupakan turunan dari gen pengkode kalsitosin. Obat golongan gepant adalah molekul kecil yang bertindak sebagai senyawa yang dapat berikatan dengan reseptor dan menghambat kerja / senyawa antagonis dari reseptor CGRP. Gepant diharapkan dapat menjadi pengobatan yang efektif untuk migrain, terutama untuk pasien yang sudah tidak menunjukkan efek sembuh apabila diberi triptan. Berbeda dengan triptan yang memiliki kontraindikasi pada pasien dengan riwayat penyakit kardiovaskular, gepant tidak memiliki aktivitas penyempitan pembuluh darah pada pasien. Pada awalnya, olcegepant dikembangkan dan telah mencapai fase 2 uji klinis sebagai molekul kecil penghambat kerja CGRP. Pemberian olcegepant secara langsung melalui
pembuluh darah terbukti meredakan gejala migrain yang terjadi pada pasien. Tetapi karena olcegepant tidak dapat diformulasikan dalam jumlah yang cukup untuk diberikan secara oral, maka diteliti kembali molekul kecil yang dapat berfungsi sebagai senyawa antagonis CGRP. Obat yang selanjutnya dikembangkan adalah telcagepant dan sudah diuji klinis pada fase 3, tetapi ternyata telcagepant menimbulkan penyakit hati akibat konsumsi secara rutin sehingga pengembangan obat dihentikan. MK-3207 juga dikembangkan dan ternyata menghasilkan data yang sama dengan telcagepant, yaitu menimbulkan penyakit hati apabila dikonsumsi
dalam jangka waktu panjang. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya kompleks fenil-glioksal yang reaktif. Dua jenis obat golongan gepant yang sedang diuji klinis fase III dan sudah mendapat lisensi dari FDA saat ini adalah rimegepant dan atogepant. Rimegepant
dikembangkan sebagai obat yang berfungsi dalam pengobatan dan pencegahan migrain, sedangkan atogepant difokuskan pada pencegahan terjadinya migrain. Golongan gepant lainnya, yaitu ubrogepant juga saat ini sudah mencapai uji fase klinis III, sudah mendapatkan izin dari FDA dan menjadi antagonis reseptor CGRP pertama yang diberikan secara oral di Amerika pada tahun 2019.

struktur-molekul-gepant-61d08ddf9bdc407b3d434b92.png
struktur-molekul-gepant-61d08ddf9bdc407b3d434b92.png

Gambar 2 Struktur beberapa molekul gepant (Hargreaves dan Olesen 2019).

Antibodi monoklonal juga mulai dikembangakan sebagai alternatif dalam pengobatan migrain. Penggunaan antibodi memiliki beberapa keuntungan seperti memiliki spesifisitas yang lebih tinggi sehingga meminimalisir terjadinya efek menyimpang, memiliki waktu paruh yang lebih lama sehingga tidak dibutuhkan pemberian dosis secara terus menerus melainkan dapat dilakukan sekali dalam jangka waktu satu bulan atau bahkan lebih. Tidak seperti penggunaan triptan dan gepant, walaupun dalam konsentrasi tinggi, penggunaan antibodi monoklonal tidak akan menyebabkan transfer silang antar jaringan dan kemungkinan terjadinya neurotoksisitas dapat ditekan. Pemberian antibodi monoklonal ini dilakukan secara intravena atau subkutan sehingga dapat membantu tingkat adherence untuk pengobatan ini. Antibodi monoklonal akan berikatan dengan protein reseptor di permukaan sel atau dengan ligan, yang akan menginhibisi proses penempelan antara CGRP dengan reseptornya. Penggunaan antibodi ini pada pasien migrain kronis dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian obat preventif lainnya atau bahkan sengaja ditambahkan untuk memberikan efek preventif yang lebih baik untuk pasien, karena berdasarkan uji klinis, tidak ada interaksi yang ditimbulkan antara antibodi dengan obat preventif yang sedang dikonsumsi sehingga aman untuk pasien. Pengobatan preventif yang sebelumya dikonsumsi dapat ditiadakan setelah dipastikan tidak ada efek negatif yang muncul setelah pemberian antibodi pada pasien.


Antibodi monoklonal dengan target CGRP secara spesifik yang sudah dikembangkan yaitu erenumab, fremanezumab, galcanezumab, dan eptinezumab, dimana target dari erenumab adalah reseptor CGRP sedangkan ketiga lainnya mempunyai ligan CGRP sebagai targetnya. Keempat antibodi monoklonal ini merupakan tipe antibodi yang berbeda-beda, erenumab adalah IgG2, fremanezumab adalah IgG2a, galcanezumab adalah IgG4, dan eptinezumab adalah IgG1. Erenumab, fremanezumab, dan galcanezumab telah mendapatkan izin dari FDA untuk dipergunakan sebagai pencegah terjadinya migrain. Pemberian erenumab juga sudah terbukti efektif secara klinis untuk diberikan kepada pasien yang sudah mengalami kegagalan pengobatan sebelumnya. Erenumab dan eptinezumab diteliti sebagai pengobatan untuk episodic migraine dan chronic migraine, sedangkan fermanesumab dan galcanezumab memiliki cakupan yang lebih luas yaitu untuk episodic migraine, chronic migraine, episodic cluster headache, dan ecpisodic chronic headache. Pemberian antibodi erenumab, fremansezumab, dan galcanezumab dilakukan berkala tiap bulan secara subkutan, sedangkan eptinezumab diberikan melalui intravena dalam jangka waktu 4 bulan.

SUMBER

Abyuda KPP, Kurniawan SN. 2021. Complicated migraine [review]. JPHV. 2(2): 28-33.

Bigal ME, Walter Sm Rapoport AM. 2013. Calcitocin gene-related peptide (CGRP) and migraine current understanding and state of development [review]. J Head and Face Pain. 53(8): 1230-1244.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun