Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Opini: KPK dan Korupsi

9 Desember 2021   06:22 Diperbarui: 9 Desember 2021   06:22 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pastinya semua itu terjadi akibat lemahnya pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. UU Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan sangat besar bagi kepala daerah. Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat tidak memiliki kewenangan untuk memecat kepala daerah yang bermasalah karena fungsinya hanya sebatas fungsi normatif, yakni membina.

Lemahnya pengawasan pemerintah pusat dan tiadanya mekanisme untuk menyeimbangkan kekuasaan berbuntut pada lahirnya raja-raja kecil di daerah. Posisi kepala daerah dianggap sebagai jalan untuk mempertebal kekayaan pribadi.

Pemilukada dijadikan tindakan spekulatif, mengeluarkan modal besar di awal agar bisa meraup untung besar nantinya. Hasilnya? Beberapa kursi kepala daerah justru diduduki oleh orang-orang yang tidak kompeten dan korup. Realitas ini terlihat dari besarnya jumlah kepala daerah bermasalah pada kurun waktu 2010 hingga 2019..

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sebanyak 294 kepala daerah tersandung kasus tindak pidana korupsi. 11 kasus diantaranya, terkait dengan kepentingan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Peneliti ICW Almas Sjafrina menyampaikan bahwa data tersebut dicatat selama periode 2010-2019. Dia mengungkap, sedikitnya 294 kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh aparat penegak hukum, tidak hanya KPK tapi juga kepolisian dan kejaksaan.

Dari data yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi di tahun 2004 sampai Juni 2021, KPK paling tidak telah memproses pelaku tindak pidana korupsi sebanyak 1.291 perkara.Jumlah kasus itu terdiri dari sejumlah perkara mulai dari kepala daerah hingga pejabat di Kementerian/Lembaga. Misalnya oknum Kepala Daerah/Gubernur yang terlibat praktik korupsi. 22 orang adalah Gubernur, Bupati/Walikota sebanyak 133 orang.

Pada kenyataannya di lapangan menunjukkan bahwa , desentralisasi kekuasaan dan euforia demokrasi tidak serta-merta membuat sistem berjalan dengan baik. Bahkan, justru dimanfaatkan oleh para oportunis. Tiadanya sistem check and balance membuat posisi kepala daerah jadi strategis.

Beberapa langkah yang perlu segera dilakukan, diantaranya  dengan menguatkan peran pemerintah pusat dengan merevisi UU tentang otonomi daerah. Peran gubernur perlu diperkuat agar dapat memecat para Bupati/Walikota dalam provinsinya dan pejabat daerah tingkat II yang bermasalah. 

Kedua, meningkatkan peran dan fungsi pengawasan KPK di daerah.

Realisasinya bisa seperti kampanye antikorupsi agresif, penerbitan indikator kepuasan publik, pelatihan pegawai negeri sipil, audit secara berkala, dan perlindungan terhadap whistle blower. 

Dalam hal ini, KPK harus memberikan jaminan bahwa pihak swasta tidak akan terkriminalisasi. Ada kekhawatiran segala bentuk transfer uang kepada pejabat yang diartikan sebagai penyuapan, padahal realitasnya tidak selalu demikian. 

Dan yang terakhir adalah mengevaluasi hasil pemekaran daerah. Sistem otonomi daerah saat ini memicu celah untuk melakukan tindakan korupsi sehingga pemekaran lebih baik dihentikan sampai terdapat perangkat hukum yang tepat untuk memperkuat pengawasan pusat di daerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun