Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen ke Tujuh Ratus

24 Mei 2021   07:26 Diperbarui: 24 Mei 2021   08:07 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen ke Tujuh Ratus

Sekujur raga Markudut dibalut kebahagiaan.Ditatapnya sinar mentari pagi yang menyinari dirinya dengan penuh senyuman. Segurat senyuman yang amat membahagiakan. Matanya berbinar menatap alam sekitarnya. Hatinya berbunga-bunga bak bunga matahari. Jiwanya terang seterang sinar matahari yang selalu bersinar setiap pagi mengiringi derap langkah penghuni bumi beraktivitas. 

Hari ini dia akan menyelesaikan cerpennya yang ke tujuh ratus. Ya, sebuah langkah visioner yang akan dicapainya sebagai penulis muda. Sebuah keberhasilan besar sebagai penulsi fiksi. Sebuah pencapaian yang sangat besar dalam kariernya sebagai fiksianer. Sebuah prestasi yang akan tercatat dalam torehan sejarah sastra di negeri ini.
" Alhamdulillah, hari ini saya akan menyelesaikan cerpen yang ke tujuh ratus. Semoga berhasil," desisnya dalam hati dengan rasa penuh optimisme.

Markudut masih ingat dan sangat ingat sekali ketika pujian datang bertubi menghampiri raganya dari temannya sesama penulis cerpen. Mareka sangat bangga dengan Markudut yang akan menyelesaikan cerpen ke tujuh ratus. Mereka para sahabatnya terus mensupportnya agar cerpen ke tujuh ratus itu segera terpublish ke publik.
"Kalau cerpen ke tujuh ratusmu itu tercapai, maka engkau adalah fiksianer pertama yang mampu menembus rekor itu," ujar temannya.
" Dan bukan tak mungkin engkau akan dinobatkan sebagai fiksianer terbaik tahun ini," sambung yang lain.
" Pokoknya, kamu harus segera  menyelesaikan cerpen ke tujuh ratus mu itu, kawan," kata temannya yang lain memberi semangat. 

Markudut tersenyum bahagia mendengar narasi bernada optimisme yang diberikan kawan-kawannya. Optimisme kembali mengkristal dalam jiwanya. Tekadnya untuk menyelesaikan cerita pendek ke tujuh ratus itu tak terbendungkan.

Kening Markudut mulai mengkerut. Keringat deras mulai mengalir dari tubuhnya. Membasahi seluruh badannya. Otaknya serasa mati. sudah 50 menit dia berada di depan laptop tuanya, baru lima kalimat yang bisa dia tulis. Baru lima kalimat saja. Tak seperti biasanya, dalam waktu selama itu, setidaknya cerpennya sudah pada tahap penyelesaian. Tapi kini kok mandeg? Entah ada apa gerangan? Tiba-tiba idenya mati bak listrik PLN yang sering menggulitakan rumahnya.

Markudut meninggalkan meja laptopnya. Dibukanya jendela kamarnya. Matahari masih bersinar terang kepadanya. Diambilnya sebatang rokok. Lelaki itu lalu menghisap rokoknya. Siapa tahu dengan menghisap rokok, idenya muncul. Begitu pikir Markudut. Mood menulisnya kembali bagus. Asap rokoknya mengepul. Membubung tinggi ke langit seiring cita-citanya yang tinggi untuk menyelesaikan cerpennya yang ke lima ratus sebagai sebuah karya

Sudah tiga batang rokok dihabiskannya, namun tangannya belum juga menekan tuts laptop sebagai tanda untuk melanjutkan menulis cerpen. Belum ada sama sekali tanda-tanda tangannya kembali menekan tuts laptop. Masih berkutat pada 5 kalimat tadi yang belum juga beranak pinak. Sementara ditangannya masih terselip rokok yang masih terbakar. Asapnya masih terus berkobar bak ambisi para politisi yang ambisius. Matanya masih memandang ke arah matahari yang makin panas sinarnya sepanas hati Markudut yang tersiksa dengan belum selesainya cerpen yang ditulisnya.

Markudut kembali memeras otaknya. Cara apalagi yang harus dipakainya biar tangan dan otaknya segera bersinergi untuk menyelesaikan cerpen yang tertunda hingga berjam-jam ini. Penulis muda itu mulai putus asa. Ada rasa kesal yang mengalir  dalam jiwanya. Ada rasa kecewa yang mengalir dalam seluruh tubuhnya.Persendiannya mulai terasa ngilu. Otaknya mulai berwarna-warni. Diisi beragam pikiran-pikiran yang lahir dari sebuah keputusasaan yang melanda jiwanya. Markudut terkulai. Sementara laptopnya tiba-tiba mati seiring habisnya baterei.

Para tetangga Markudut mulai gelisah. Mareka bertanya-tanya. kemana lelaki muda itu berada? Sudah dua hari, lelaki muda itu tak keluar rumah. Tak menampakkan batang hidungnya. Tak bercengkrama dengan tetangga yang menjadi kebiasaannya. Rumahnya gelap gulita.  Tak biasanya penulis muda itu berlakon seperti itu. Kalaupun dia meninggalkan rumah untuk jangka waktu yang lama, biasanya dia selalu memberi tahu kepada tetangganya. 

Lagi pula Markudut dikenal sebagai warga yang ramah dengan tetangga. Suka menolong. Dan tentu saja peduli dengan kehidupan para warganya. Tak heran banyak cerpen yang ditulisnya berkisah tentang kehidupan warga di sekitar tempatnya tinggal. Sebuah Kampung di Kota besar yang tak pernah diperhatikan pemimpin Kota yang dipilih warganya dengan jiwa yang bersih, penuh sukacita dan rasa bahagia
" Kita harus mendobrak rumahnya," ajak seorang warga kepada beberapa warga.
" Betul sekali. Tak bisa dibiarkan. Kita harus segera mengambil langkah cepat sebelum terjadi sesuatu kepada Markudut," sambung warga yang lain.
" Kita tak bisa seenaknya main dobrak rumah orang tanpa izin yang empunya. Jangan main dobrak saja," sergah warga yang lain.
" Bagaimana kalau kita lapor ke Pak RT? Nah kalau sudah ada izin Pak RT, baru kita dobrak rumahnya," usul seorang warga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun