Cerpen: Mendadak Alim
Hampir setiap malam saat gerbang cahaya Ramadan datang, warga kampung Kami berduyun-duyun ke Masjid. Mereka, lelaki dan perempuan, tua dan muda dengan langkah kaki yang tergopoh-gopoh menyegerakan diri ke masjid.
Sebelum suara azan isya berkumandang mensakralkan alam, mereka, warga kampung Kami telah berada di masjid. Pada saat itu suasana kampung Kami sunyi sekali. Seperti kampung mati. Tak berpenghuni. Tak ada aktivitas warga yang terlihat di jalanan. Sunyi. Â Semua warga kampung Kami berada di masjid. Sholat tarawih.Â
Sebelum gerbang malam Ramadan tiba, kampung kami kedatangan seorang lelaki tua yang misterius. Bagaimana tidak misterius, lelaki tua itu hadir saat warga kampung Kami sedang berkumpul. Dan sejurus kemudian, tiba-tiba dia menghilang dari pandangan mata para warga yang sedang berkumpul.
"Siapa lelaki tua itu, Mbok," tanya seorang warga saat mereka sedang berkumpul di warung kopi Mbok Painem.
"Orang singgah ngopi. Biasalah," jawab Mbok Painem sang pemilik warung.
"Aku baru lihat. Warga baru ya," sambung warga yang lain.
"Kalian ini mau ngopi atau mau ngurusin orang. Kayak wartawan saja kalian ini. Banyak pertanyaan," jawab Mbok Painem dengan nada kesal.
"Bukan begutu, Mbok. Kita perlu waspada. Kan sebagai warga yang baik, tak salahkan kalau kita waspada. Jangan sampai Kampung Kita kedatangan tamu yang tak jelas rimbanya," urai warga yang lain.
"Waspada sih waspada. Tapi jangan terlalu ikut campur ngurusin hidup orang. Hidup kita saja belum lurus," celetuk Mbok Painem dengan nada kesal.
Cahaya matahari sudah diatas kepala. beberapa warga yang sedang menikmati kopi di warung Mbok Painem, tiba-tiba wajahnya seperti kain kafan. Pucat pasi. Jantung mereka berdegub amat tak karuan.Â