Matahari baru saja menampakkan sinar terangnya. Seorang lelaki setengah baya, sudah bersiap untuk berangkat mengayuh becaknya. Tak lupa dia memakai topi yang sudah agak kumal pemberian dari penumpangnya beberapa tahun lalu.
Soal tarif becak, lelaki itu memang tak pernah memasang tarif untuk ongkos becaknya. Dia menerima dengan sukarela berapa pun ongkos yang diberikan penumpangnya.
Namun ada juga penumpang yang memberikannya tarif yang sangat besar yang bisa membuatnya bisa mengajak istrinya ke pasar membeli baju di pedagang kaki lima di trotoar jalan masuk ke pasar.
Belum lagi zaman sekarang becak kalah bersaing dengan  angkutan umum. Lelaki itu tak bisa berbuat banyak, karena hanya becak yang dia miliki sebagai bekal hidup di Kota yang ganas ini. Dan hanya ngebecak yang menjadi keahlian semenjak dirinya merantau ke Kota ini.
Setiap hari, lelaki itu berkeliling mengayuh becaknya dan berhenti ketika hari sudah menjelang senja. Arakan senja mengiringinya pulang ke rumahnya. Sebuah rumah kecil yang dia tempati bersama istri. Sementara anak satu-satunya dititipkan di rumah neneknya di kampung. Dan setiap dia pulang mengayuhkan becaknya, Â istrinya selalu menyambutnya dengan hangat.
" Kita makan dulu ya Pak. Aku sudah menyiapkan makanan untukmu," ajak istrinya.
Saat istrinya sedang membereskan piring-piring kotor bekas makan mereka, terdengar pintu diketuk dari luar. Lelaki itu membuka pintu dan mempersilakan masuk. Seorang tetangga sebelah rumahnya membawa sebuah keresek hitam  dan sepiring makanan.
"Ini ada sedikit makanan. Tadi sore kami memetik dari kebun belakang kami." ujar tetangganya
" Terimakasih Pak. Alhamdulillah. Semoga Bapak selalu diberikan rezeki berlimpah oleh Allah," kata lelaki itu
"Amiin..." jawab tetangganya dan langsung berpamitan.
Hari yang terus berganti. Zaman terus berubah. Para pemimpin negara pun telah berubah. Lelaki setengah baya itu masih setia dengan becaknya yang telah menemaninya selama puluhan tahun. Dia masih sangat setia dengan profesinya sebagai tukang becak.