Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Menyentuh Hati

19 Februari 2018   20:36 Diperbarui: 19 Februari 2018   20:49 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Saat senja baru keluar dari pertapaan.  Perlihatkan muka sembab.  Setelah bertangisan sebentar.  Menangisi gerimis tak jadi datang.  Inginnya melihat bianglala terpatahkan.

Begitu juga.  Ketika suara gerobak menimpa kerikil dan batu.  Seorang pemulung di kota besar.  Mampir sebentar di mushola kecil.  Membersihkan muka dan kaki yang kasar.  Mencari kehalusan hati di Isya yang sepi.

Sama saja.  Waktu seorang pembesar.  Tak meminta rombongannya dikawal.  Tak perlu sirine yang menyayat hati untuk membuka jalan.  Kemacetan ini harus juga dilalui.  Agar mengerti bagaimana cara mencintai.

Apalagi.  Ketika seorang ibu.  Mengelus bayinya yang kepanasan.  Di atas bus kota yang berjejalan.  Berharap tangannya adalah angin dingin.  Supaya tertidur lelap buah hatinya sampai tujuan.

Semuanya menyentuh hati.  Menggiring sunyi ke tempat sebenarnya.  Jauh dari orang-orang yang berkilau hatinya.

Jakarta, 19 Februari 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun