Adukan kopi dan gula belum juga sempurna tersetubuhi. Â Tapi dentingan sendok pada gelas yang selalu rela dianiaya, telah berhenti. Â Tersaji, segelas kopi tanpa rasa untuk pertama kali.
Pagi beranak pinakkan entah. Â Walau matahari beranjak sepenggalah. Â Namun gigil enggan pergi. Â Sebab bumi masih meringkukkan hati.
Sudah hukumnya. Â Segelas kopi yang sempurna mampu redakan badai di kepala. Â Tapi namanya juga gamang. Â Semua yang di depan mata terasa jalang.
Jadi segelas kopi ini untuk apa. Â Biarkan saja dimangsa lalat penyuka. Â Atau tumpahkan saja di selokan yang tak ada airnya.
Tak bisa dipercaya. Â Segelas kopi sia-sia menjadi penuh sisa. Â Di pagi yang segamang hilangnya siamang. Â Di hati yang berenang dalam tuba pohon Sialang.
Jakarta, 18 Februari 2018
Â