Lampu berkedip-kedip mirip perempuan genit. Â Memantul di kaca-kaca terang gedung tinggi yang mewakili mata Jakarta. Â Memelototi suara jalang knalpot bus kota renta. Â Tersengal-sengal maju membawa pantatnya yang berdebu. Â Membawa puluhan manusia yang berhimpitan seolah ikan kemasan baru keluar dari mesin pabrik tua.
Pojokan Jakarta berasap kuat. Â Sekuat dada penyelam yang sedang mencari mutiara. Â Tumbuhlah batuk dari paru-paru yang hampir meledak. Â Mengais sisa-sisa udara yang terpelanting tersentak-sentak.
Pesisir utara kota menguapkan rasa asin yang tak biasa. Â Bercampur dengan raungan angin pasat yang lewat dengan cepat. Â Bersiap kirimkan titipan butir-butir air dari badai yang mendekat.Â
Sementara ikan-ikan berenang dengan ketakutan. Â Tak bisa ditenangkan dengan suara adzan yang tak sampai di tempat mereka dilahirkan. Â Gemuruh yang luruh dari pekat yang berarang. Â Tak juga mampu mendamaikan ketegangan akibat para pemimpin yang suka sekali mulutnya berperang.
Jakarta di waktu petang. Â Mengerang-erang kelelahan. Â Mengucapkan kata semoga berkali-kali. Â Semoga keselamatan ada pada orang-orang yang terburu-buru. Â Semoga mampatnya jalanan diurai oleh kesabaran yang didorong oleh wangi yang disebar oleh bunga sepatu. Â Semoga riuh caci maki diganti dengan siulan merdu debu yang terantuk batu-batu.
Jakarta, 12 Februari 2018