Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mencambuk Diam

13 Oktober 2017   15:58 Diperbarui: 13 Oktober 2017   16:29 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Bergelut dengan kata selicin belut, membuatku berpikir laksana angin ribut.  Dimana letak frasa yang seharusnya diucapkan.  Sedangkan kalimat sekarang lebih suka jika dihamburkan.

Pelangi tak pernah berduka.  Warnanya juga tak bisa menua.  Mendatangi mata tanpa perlu memberikan tanda mata.  Indahnya sudah cukup untuk membebat luka.

Malam tertatih datang sebab senja terlalu lama mendandani muka.  Bedaknya dari mendung yang pecah dihancurkan angin.  Maskaranya diambil dari patahan bulu ekor Kolibri.  Pemanis bibir dipinjam dari perasan daun jati.  Sedangkan rona pipi tersipu karena disentuh oleh daun Puteri Malu.

Tak usah takut lagi untuk mencambuk diam.  Keluarkan segala yang berbunyi lantang.  Diam bukan lagi emas.  Diam itu awal mula dari cemas. Ibarat laut tenang namun ternyata menyimpan badai yang siap mengganas.

Jakarta, 10 Oktober 2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun