Bergelut dengan kata selicin belut, membuatku berpikir laksana angin ribut. Â Dimana letak frasa yang seharusnya diucapkan. Â Sedangkan kalimat sekarang lebih suka jika dihamburkan.
Pelangi tak pernah berduka. Â Warnanya juga tak bisa menua. Â Mendatangi mata tanpa perlu memberikan tanda mata. Â Indahnya sudah cukup untuk membebat luka.
Malam tertatih datang sebab senja terlalu lama mendandani muka. Â Bedaknya dari mendung yang pecah dihancurkan angin. Â Maskaranya diambil dari patahan bulu ekor Kolibri. Â Pemanis bibir dipinjam dari perasan daun jati. Â Sedangkan rona pipi tersipu karena disentuh oleh daun Puteri Malu.
Tak usah takut lagi untuk mencambuk diam. Â Keluarkan segala yang berbunyi lantang. Â Diam bukan lagi emas. Â Diam itu awal mula dari cemas. Ibarat laut tenang namun ternyata menyimpan badai yang siap mengganas.
Jakarta, 10 Oktober 2017