Mohon tunggu...
Milisi Nasional
Milisi Nasional Mohon Tunggu... Freelancer - Buruh Tulis

Baca, Tulis, Hitung

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kisah Sukses People Power Filipina 1986

3 Mei 2019   17:41 Diperbarui: 3 Mei 2019   17:43 1292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diolah dari https://akurat.co dan https://www.theguardian.com 


Pepatah Tua dari Perancis mengatakan, l'histoire se rpte, sejarah akan berulang, begitu para sejarawan dan banyak masyarakat percaya. Kejadian dari masa lampau pasti akan berulang kembali di masa depan. Peristiwa pengulangan sejarah itu nampaknya kan hadir di Indonesia. Kecurangan pemilu yang terjadi secara terstruktur, massif dan sistematis pada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden bukanlah hal yang pertama kali terjadi di dunia. Kecurangan yang menciptakan mosi tidak percaya dan menggerakan people power juga pernah terjadi sebelumnya di negara yang masih satu rumpun dengan Indonesia, yaitu Filipina.

Gerakan people power yang membatalkan hasil Pemilu juga pernah terjadi di Filipinan pada tahun 1986. Berawal dari Pilpres Filipina yang digelar tanggal 07 Februari 1986, banyak kecurangan yang dilakukan pada pemilu kali itu dan sangat merugikan pihak Capres oposisi Nyonya Corazon (Cory) Acquino yang pada saat itu melawan petahana Ferdinand Marcos. Ferdinand Marcos sebagai petahana dan pemerintah yang sedang berkuasa, dengan berbagai macam cara memainkan intrik dan manipulasi suara untuk memenangkan hasil pemilu. Ferdinand Marcos pun berhasil dinyatakan keluar sebagai pemenang pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum Filipina (Comelec).

Napun hasil Pemilu yang dimenangkan Ferdinand Marcos menimbulkan kecurigaan di tengah masyarakat, bahwa ada persekongkolan jahat antara Presiden Marcos dan pihak Colemec. Rakyat pun diselimuti mosi tidak percaya pada hasil Pemilu Filipina pada 1986. Melalui sebuah gerakan independen rakyat menghadirkan perlawanan dengan cara membuat riset penghitungan suara pemilu tandingan. Adalah Gerakan Nasional Untuk Pemilu Bebas (NAMFREL) yang membuat perhitungan suara tandingan tersebut, sebuah organisasi independen yang melakukan penghitungan suara tidak resmi.

Melalui gerakan NAMFREL hasil penghitungan suara pun didapatkan, hasil tersebut justru menyatakan oposisi sebagai pemenang dengan suara 7,835,070 melawan petahana yang hanya mengantongi 7,053,068 suara. Setelah perolehan suara tersebut berhasil dihimpun, kecurangan dari pihak Petahana pun terkuak, banyak ditemukan manipulasi dan penggelembungan suara.

Mengetahui pemilu yang banyak terjadi kecurangan pun akhirnya menyulut kobaran api semangat untuk melakukan demonstrasi menentang pemerintah. Rakyat turun ke jalan memprotes kecurangan yang membuat : Ibukota Manila praktis lumpuh selama empat hari (22-25 Februari 1986). Berawal dari jumlah demonstran yang hanya ribuan, kemudian berlipat menjadi ratusan ribu dan terus bertambah, hingga diperkirakan 2 juta orang ikut dalam aksi gerakan sipil tanpa senjata ini.

Sebuah gerakan "People Power" yang berupaya menumbangkan rezim pemerintahn yang banyak melakukan kecurangan dalam pemilu. Akhirnya pada tanggal 25 Februari 1986 malam, Marcos menyerah. Ia dan keluarganya kemudian terbang dan mengasingkan diri ke Hawaii, AS. Pemimpin oposisi Corazon Acquino pun dilantik sebagai Presiden Filipina melalui sebuah upacara sederhana di Club Filipino.

l'histoire se rpte, sejarah akan kembali terulang. Akankan Pilpres 2019 yang terjadi di Indonesia akan mengulang sejarah yang sama seperti dengan yang terjadi di Filipina? Bukti kecurangan sudah banyak terbukti, bahwa ada sebuah gerakan yang secara sistematis, massif dan terstruktur menjalankan kecurangan yang menyebabkan pihak oposisi Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno kalah dalam kontestasi Pilpres saat ini.

Penyelenggara Pemilu saat inti pun sangat dipertanyakan netralitasnya, baik KPU dan Bawaslu terlihat berpihak pada pemerintah yang sedang berkuasa pada rezim ini. Juga para aparatur sipil negara yang terkesan gagal dalam menjalankan amanat Undang-Undang Dasar untuk tidak berpolitik, dan menunjukkan keberpihakannya pada pemerintah yang sedang ikut serta dalam kontestasi Pilpres 2019.

Umat bersama para alim ulama pun sudah merapatkan barisan dan secara tegas menyatakan bahwa Pilpres kali ini dipenuhi dengan kecurangan, dan seharusnya pihak petahana Joko Widodo dan Maruf Amin didiskualifikasi dari kontestasi Pilpres 2019 ini karena kecurangan pemilu yang mereka lakukan. Namun sayanganya penyelenggara Pemilu seperti KPU dan Bawaslu sepertinya hanya tutup mata akan kejadian tersebut dan memilih bungkam atas kecurangan yang terjadi.

Rakyat yang dicurangi jelas merasa terluka sebab keadilan tidak ditegakkan, dan mandat yang merka berikan pada pemerintah diselewengkan untuk digunakan mempertahankan kekuasaan. Jika pemerintah, KPU dan Bawaslu masih terus bersikap tak acuh terhadap kondisi kecurangan yang terjadi, bukan tidak mungkin maka rakyat dengan kekuatan mereka sendiri menggalang persatuan untuk menentang hasil Pemilu yang 17 April 2019 kemarin. Rakyat akan menciptakan gerakan "People Power"  sebagaimana yang rakyat Filipina jalankan. Menumbangkan pemerintah yang mencurangi hasil pemilu.

l'histoire se rpte, sejarah akan kembali terulang. Simbol perjuangan rakyat Filipina dengan mengacungkan dua jari pun sangat identik dengan gerakan perjuangan untuk menciptakan Indonesia adil-makmur yang dilakukan Prabowo-Sandi. Dan keduanya adalah pihak opoisisi yang dicurangi oleh petahana yang takut kekuasaannya direbut, sehingga mengerahkan segala cara untuk mencurangi hasil Pemilu. Tapi tentu rakyat tahu dan tidak akan tinggal diam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun