Mohon tunggu...
Milenia Ferli
Milenia Ferli Mohon Tunggu... Hi selamat menikmati tulisan-tulisan disini, semoga abadi dalam ingatan

Hi:)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sebuah Catatan Kritis Untuk Dunia Pesantren: Membaca Ulang Clifford Geertz dan Tan Malaka

16 Oktober 2025   14:47 Diperbarui: 16 Oktober 2025   14:59 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: TikTok.com/FaktaLogic 

Ketika Clifford Geertz menulis The Religion of Java (1960), dirinya tidak hanya menggambarkan kehidupan keagamaan orang Jawa, atau Islam dalam budaya Jawa, tetapi juga memotret bagaimana agama yang pada akhirnya melekat pada struktur sosial. Dalam masyarakat Jawa, Geertz menemukan tiga tipologi: abangan, santri, dan priyayi. Tiga lapisan ini, menurut Geertz bukan sekadar keyakinan, melainkan juga hirarki sosial. Dalam konteks pesantren, warisan struktur itu masih bisa dirasakan hingga kini. Kiai menempati posisi priyayi spiritual, santri menjadi abdi ideologis, sementara masyarakat sekitar menempatkan diri sebagai pengikut yang tunduk sepenuhnya pada titah kiai yang dianggap sebagai elite agama. 

Hubungan antara kiai dan santri memang seharusnya dibangun atas dasar penghormatan dan adab. Namun dalam praktiknya, relasi itu sering menyerupai pola feodal. Otoritas spiritual yang akhirnya menjelma menjadi otoritas sosial. Hari ini, ketika seorang murid (santri) berusaha memberikan pandangannya, atau katakanlah kritik dan bersebrangan dengan pendapat kiai, maka akan dianggap kurang ajar, dan ketaatan menjadi ukuran kesalehan seorang santri. Dalam perspektif Max Weber (Weberian) ini bisa disebut sebagai bentuk karisma tradisional, yaitu sebuah otoritas yang diterima bukan karena rasionalitas, melainkan karena keyakinan akan kesucian figur pemimpin.

Sementara itu, Tan Malaka dalam bukunya yang berjudul Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) mengajak bangsa ini, terkhusus pembacanya keluar dari cara berpikir feodal dan mistika menuju logika yang lebih rasional. Tan Malaka menulis bahwa bangsa yang terus memuja simbol tanpa berpikir kritis akan terjebak dalam "kegelapan logika dan kesalahan berfikir". Jika pandangan Tan Malaka ini kita cerminkan pada sebagian praktik pesantren dan kondisinya hari ini, terlihat bahwa sebagian lembaga keagamaan masih dikelola dengan pola top-down yang minim ruang dialog. Loyalitas lebih dihargai daripada daya pikir, dan kebebasan bertanya sering kali dianggap pembangkangan bagi sebagian kiai atau elit pesantren.

Feodalisme di pesantren tidak hanya hadir dalam hubungan sosial, tetapi juga dalam struktur gender. Budaya patriarki membuat perempuan santri sulit memperoleh posisi setara. Dalam banyak kasus, perempuan masih diposisikan sebagai penerima ilmu, bukan pengemban otoritas. Padahal, Islam sendiri menegaskan kesetaraan spiritual dan intelektual antara laki-laki dan perempuan.
Seorang sosiolog, Pierre Bourdieu menyebut fenomena ini sebagai reproduksi kultural, yakni bagaimana struktur kekuasaan direproduksi melalui lembaga pendidikan dan simbol budaya. Dalam konteks pesantren, ketimpangan gender dan hirarki sosial justru sering dilanggengkan atas nama adab atau tradisi. Ketika sistem sosial dibungkus dengan legitimasi religius, ia menjadi suci dan sulit disentuh kritik.

Namun, penting untuk menegaskan bahwa tulisan ini sebagai bentuk kritik terhadap feodalisme pesantren dan bukan serangan terhadap kiai atau tradisi keislaman. Clifford Geertz saat menulis The Religion of Java sendiri tidak menulis dengan nada permusuhan, melainkan dengan kacamata antropologis. Ia berusaha memperlihatkan bagaimana agama, dalam konteks budaya Jawa, yang sering kali menjadi bagian dari struktur kekuasaan.

Sedangkan Tan Malaka dalam bukunya, berusaha untuk menekankan bahwa kemajuan bangsa bergantung pada keberanian berpikir logis dan dialektis. masyarakatnya. Tan Malaka menyerukan agar masyarakat mengganti "berpikir mistik" dengan "berpikir ilmiah." Jika kedua pandangan ini disandingkan, bisa jadi kita akan dengan mudah menemukan arah perubahan yang ideal bagi dunia pesantren, menjadi Islam yang lebih rasional, terbuka terhadap kritik, namun tetap berakar pada nilai-nilai spiritualitas dan adab.

Karena itu, menurut penulis, pembaruan pesantren tidak cukup hanya dengan memperluas bangunan atau menambah kurikulum modern. Yang lebih penting adalah memperbarui kesadaran berpikir, merevitalisasi sistemnya dan mengubah pola relasi antara kiai dan santri, dari hierarkis menjadi dialogis, serta melibatkan peran perempuan dengan  memberi ruang setara dan aman bagi perempuan untuk berkontribusi dalam keilmuan Islam.  Santri dan pengasuh pondok serta para elit di dalamnya juga perlu saling belajar dan mengajarkan nilai yang sesuai dengan apa yang Islam dan Nabi Muhammad contohkan, yang muda membawa semangat kritis dan kesetaraan, sementara yang tua membawa kearifan tradisi dan spiritualitas. Dengan dialog yang jernih dan hati yang lapang, pesantren bisa memperbaiki diri tanpa kehilangan jati dirinya. Kritik yang dilakukan pun harus dengan niat baik dan bukanlah perlawanan, tetapi bentuk cinta terhadap lembaga yang telah membesarkan jutaan anak bangsa.

Akhirnya, seperti yang diajarkan Islam dan tertulis jelas dalam Al-Qur'an, bahwa musyawarah adalah jalan di antara ekstrem kepatuhan dan pembangkangan. Pesantren yang berani keluar dari bayang-bayang feodalisme dan patriarki justru sedang menjaga kemurnian misinya, yaitu mencerdaskan umat, memerdekakan akal, dan menumbuhkan iman yang berpikir. Pesantren harus menjadi pioner madrasah pembebasan, bukan kerajaan kecil yang menuntut kepatuhan tanpa boleh adanya kritik dan perbedaan pendapat. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun