Mohon tunggu...
Mila Firdaus Yusuf
Mila Firdaus Yusuf Mohon Tunggu... -

just wanna share with the world by words...!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suami Alpha Wife

21 Desember 2011   15:43 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:56 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dengan cekatan, laki- laki itu menyelesaikan pekerjaan mencuci dan membilas tumpukan pakaian yang menggunung dalam bak cucian. Lalu membetulkan posisi tiang jemuran yang terlihat sedikit goyah, menjemur pakaian  satu persatu dengan susunan yang rapi, lalu membuang air yang tersisa di ember ke selokan yang membawa air pembuangan ke saluran irigasi. Setelah itu tangannya kembali beraksi membereskan perabotan mainan milik putri kecilnya yang berserakan di halaman depan dan memasukkannya di kardus di pojok teras rumah. Tanpa ada sedikit gurat kelelahan di wajahnya, ia mengambil sapu, mengayunkan untuk 5 kali ayunan, dan sekaligus membetulkan letak keset tepat di depan pintu masuk. Aku hanya terkesima melihat kegesitannya, mungkin hampir sama gesitnya dengan Bi Minah yang sering bantu - bantu di rumahku. Setelah itu, entah apalagi yang ia lakukan di dalam rumah, aku tak punya kesempatan ataupun alasan untuk memperhatikan. Karena satu- satunya alasanku berada di sini adalah mengambil titipan aneka snack yang akan kubawa ke kantin sekolah tempatku mengajar siang nanti. Dia meminta maaf karena telah membuatku sedikit menunggu. Harinya agak sibuk karena istrinya belum pulang dari training 2 hari ke luar kota. Dan aku hanya tersenyum memaklumi sambil pamit untuk segera berlalu dari situ.

Sepanjang perjalanan ke rumahku yang berjarak 100 meter yang kutempuh dengan berjalan kaki, aku berpikir. Apa sesungguhnya yang dirasakan oleh laki-laki yang biasa kupanggil Mang Ojit tersebut ? Bahagia, terhina, malu, atau rendah diri ? Setahuku, sejak kelahiran anak mereka yang pertama hingga anak ketiga, dialah yang mengurus urusan rumah tangga beserta buah hati mereka. Istrinya, Bi Rasti berinisiatif bekerja sebagai buruh di pabrik boneka sejak Mang Ojit terkena PHK akibat efisiensi perusahaan  8 tahun yang lalu. Mang Ojit yang berstatus buruh outsourcing tak dapat berbuat banyak dengan ijazah madrasah tsanawiyah yang dimilikinya. Enam bulan mencari kerja ke sana ke mari akhirnya membuat Mang Ojit harus berdamai dengan idealismenya sendiri, yang saat masih bekerja dulu, tak akan pernah membiarkan istrinya bekerja di luar rumah. Karena ia tak mau anak- anaknya tumbuh besar tanpa belaian kasih sayang dan didikan yang cukup dari ibunya . Ternyata untuk bertahan hidup, tidaklah cukup hanya dengan bermodalkan keteguhan memegang prinsip. Pada akhirnya ia harus merelakan istrinya bekerja untuk menyambung hidup bagi diri dan ketiga anaknya.

Sejak itu peran kehidupannya pun berganti. Istrinya berangkat kerja pergi pagi pulang sore, kadang malam hari, dia yang mengurus anak, memasak , mencuci, dan beres - beres rumah. Awalnya memang terasa kaku dan lamban. Ada juga perasaan aneh mencengkam, saat harus mengantar dan menunggui anak pertamanya yang baru masuk SD, atau menemani ekstra kurikuler berenang putrinya, yang rata - rata teman sekelasnya biasanya ditemani oleh ibu mereka, atau ikut mengantri bersama ibu - ibu di tukang sayur untuk berbelanja. Tapi seiring berjalannya waktu, dia menjadi terbiasa dan semua terasa menjadi begitu mudah dikerjakan. Dia mulai kebal terhadap bisik- bisik miring tetangga usil yang mempertanyakan letak harga dirinya sebagai laki laki, dan mau begitu saja menjalani profesi sebagai bapak rumah tangga dan pasrah saja dinafkahi istri. Dia tak habis mengerti mengapa orang lain yang begitu sibuk mengamati dan mencela jalan yang ia pilih. Toh, istrinya saja tak begitu mempermasalahkan apa yang ia jalani sekarang. Kira kira itulah sedikit keluh kesah Mang Ojit yang pernah kudengar dari Wa Acin, tetangga depan rumahku, yang sering menemani Mang Ojit maen gaple sebagai pembunuh waktu saat menunggui istrinya yang kadang pulang malam karena disuruh lembur oleh atasan. Ah, Mang Ojit benar - benar beruntung mempunyai istri solehah seperti Bi Rasti, yang tak hanya ridho membiarkan suaminya yang mengurus rumah dan anak mereka, tapi juga tak pernah main hitung - hitungan dengan suami dalam hal mencari nafkah. Walau ia tak berkewajiban untuk melakukan itu semua, karena sepanjang yang kutahu, wanita yang menjadi pencari nafkah untuk suami dan anak anaknya, maka materi yang didapat akan dihitung sebagai sedekah selama ia ikhlas memberikannya.

Iseng aku berkhayal, apa jadinya jika suamiku yang berada di posisinya Mang Ojit ? Jangankan masak, mencuci atau beres - beres rumah, disiplin menaruh pakaian kotor dari kapstok ke mesin cuci saja begitu sulit dilakukannya tanpa ada omelan panjang pendek keluar dari mulutku. Dan mengurus anak ?? Ho..ho..ho..tunggu dulu, bagaimana dia bisa mengganti popok anakku kalau membedakan mana bagian depan atau belakang dari popok saja dia tidak tahu ? Tapi aku maklum semaklum - maklumnya. Pekerjaannya sebagai koordinator lapangan sebuah event organizer menuntut dia jarang ada di rumah. Apalagi jika week end tiba. Justru saat itulah yang merupakan hari tersibuk baginya. Itulah sebabnya aku tak menolak tawaran teman kuliahku dulu untuk menjadi salah satu tenaga pengajar di sebuah SDIT yang ia dirikan 2 tahun yang lalu. Kupikir daripada bete seharian di rumah menunggui suami yang jarang pulang, lebih baik mengisi waktu dengan mentransfer ilmu ke calon anak didikku . Lagipula anak kami Davey, sudah duduk di TK nol besar, sudah bisa ditinggal - tinggal karena ada adik perempuanku yang menjaga.

Sambil menghitung dan memasukkan snack ke dalam tas, aku kembali melanjutkan khayalanku. Enak kali ya punya suami bisa melakukan segalanya di rumah ? Mengingat aku tak memiliki seorang pembantu, karena segala pekerjaan rumah tangga masih sanggup untuk kukerjakan sendiri. Mungkin sesekali di hari libur, kami bisa berbagi tugas, aku yang masak, suamiku yang mencuci. Atau aku yang beres - beres rumah, suamiku yang menemani anakku belajar atau mengerjakan PR. Aku yang belanja ke tukang sayur, suamiku yang belanja keperluan dapur. Aku mengingat- ingat selama 7 tahun pernikahan kami, pernahkah Mas Rayhan memasakkan sesuatu untukku ? Rasanya tidak pernah. Saat aku hamil muda dulu dan mengalami emesis berat, kupikir akan membuat suamiku jadi sedikit care dengan pekerjaan rumah yang sudah menjadi tugas harianku. Saat melihat cucian menumpuk karena aku tak kuat lagi bangun untuk mencuci pakaian kotor kami, suamiku malah menyambangi toko elektronik terdekat dan membawa pulang sebuah mesin cuci. Saat aku merengek - rengek ngidam ingin makan masakan Jawa Timuran khas daerah kelahiran suamiku, dia malah sibuk hunting tanya sana - sini di mana warung Jawa Timur yang enak. Padahal aku cuma mencari alasan agar Mas Rayhan mau ' turun' ke dapur, dan memasakkan sesuatu untukku. Entah itu nasi goreng, ceplok telor, ataupun sekedar goreng mendoan. Yang penting aku bisa melihat suamiku masak dan menikmati masakan hasil racikan tangan suamiku sendiri.

Tapi ya itulah suamiku. Yang terlahir sebagai anak bungsu. Yang terbiasa aktif sejak dari sekolah dulu. Kakak kelasku yang suka ikut organisasi ini kelompok itu. Yang tak mau repot mengerjakan ini itu,selain pekerjaannya tentu. Penyuka segala yang praktis, dan pembenci segala yang menghabiskan waktu. Dan walaupun begitu, aku tetap merasa menjadi wanita yang beruntung yang bisa memilikinya. Karena dengan segala kesibukannya itu, kami bisa hidup dengan kondisi ekonomi lebih dari cukup dibandingkan sebagaimana pasangan muda lainnya.

Sepertinya khayalanku telah membuatku terlambat mengajar tepat waktu hari ini. Bergegas aku mandi dan berganti seragam mengajarku. Tak lupa aku mengingatkan Nisha, adikku, untuk menjemput Davey di sekolah Taman Kanak - Kanak yang letaknya tak jauh dari rumah. Ah, untung saja motor nganggur hari ini, karena Nisha sudah selesai UTS-nya.

Untuk menyingkat waktu aku mengambil jalan pintas di dekat sawah, sebuah jalan kecil yang sepi dan berbatasan langsung dengan jalan raya menuju Kabupaten dan Kota. Sambil menikmati semilir sejuk angin persawahan, mataku sesekali mengawasi kesibukan jalan raya di sisi sebelah kiri jalan yang kebetulan searah. Tiba - tiba aku terkesiap melihat pemandangan yang baru saja kulihat. Ada seorang laki- laki yang sedang membonceng seorang wanita dan mengendarai sebuah motor besar yang melaju santai menuju ke arah kota. Wanita itu memeluk dengan dekapan mesra dan menaruh dagunya di pundak si pria. Mereka seperti sedang berbincang sehingga tak menyadari bila sedang kuperhatikan. Dan aku seperti mengenal wanita itu. Bukankah dia Bi Rasti istrinya Mang Ojit yang sepanjang hari ini aku lamunkan ? Bi Rasti yang suaminya aku banding - bandingkan dengan suamiku barusan ? Bi Rasti yang sudah aku puji sebagai istri solehah dan dengan memilikinya, bagi Mang Ojit menurutku merupakan Dewi Keberuntungan ? Bukannya kata Mang Ojit tadi istrinya sedang training ke luar kota dan sudah 2 hari belum pulang ????

%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%

# # Selamat Hari Ibu, untuk Ibu - Ibu  yang telah merasakan sempurnanya kodrat sebagai seorang Ibu, juga untuk Ibu - Ibu  yang tak bisa sepenuhnya menjalani tanggung jawabnya sebagai seorang Ibu.

Mila F. Yusuf

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun