Mohon tunggu...
Mikhael Yosia
Mikhael Yosia Mohon Tunggu... Dokter - Medical/Operational Research Coordinator Doctors Without Borders (Médecins Sans Frontières), Master in Occupational Health

dr. Mikhael menyelesaikan studi dokter umumnya di Universitas Indonesia dan University of Melbourne di Australia. Selama beberapa tahun melakukan riset di bidang hematologi (darah) pada anak, menghasilkan beberapa publikasi internasional. Saat ini dr. Mikhael menjadi koordinator penelitian untuk negara-negara di Asia dalam bidang infeksi pada anak, vaksinasi, pelayanan medis pada bencana alam, dan wabah penyakit.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Indonesia Masih "Buta" terhadap Proses Pembuatan Obat Baru Covid-19

4 Mei 2020   18:02 Diperbarui: 4 Mei 2020   18:19 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fase-fase dalam penilitian klinis untuk menentukan keamanan dan kemanjuran obat baru. (diambil dari: aidsinfo.nih.gov)

Akhir-akhir ini banyak orang-orang yang tiba-tiba bermunculan di media masa dan mengklaim bahwa mereka berhasil menemukan obat untuk COVID-19. Klaim obat ini bervariasi bentuknya, dari yang tidak masuk akal sampai setengah-setengah dapat dipercaya. Klaim jamu-jamuan yang merajalela di sana sini, diklaim dapat menyembuhkan COVID-19 dan sederetan penyakit lainnya: dari diabetes, sakit jantung, asam urat, jerawatan, bisul, buruk rupa, kulit kering, melepuh, katarak, batu ginjal, batu empedu, dan lain-lain. 

Klaim-klaim ini tentu banyaknya tidak berbasis pada fakta dan ilmu pengetahuan, tetapi tampaknya ribuan sampai jutaan followers sang empunya jamu ini tidak begitu peduli terhadap ilmu pengetahuan - mereka hanya mau mendengar kata SEMBUH.

Bahkan beberapa orang yang menyebut diri mereka professor-professor, yang notabene adalah akademisi terpelajar, tidak mau kalah dan turut membuat klaim-klaim hebat bahwa mereka sudah mengalahkan peneliti luar negeri dan menemukan obat untuk COVID-19 (dalam bentuk-bentuk yang tidak kalah ajaib). Lebih fantastis lagi, menurut mereka "obat" yang ditemukan sudah berhasil menyembuhkan 5 pasien COVID-19 di Indonesia. Bayangkan? Kalau dilihat sekilas dan tidak di telaah lebih jauh, tentu ini jadi sebuah harapan besar bagi banyak orang.

Klaim seperti ini tentu sudah ada sejak dulu, yang lebih disayangkan adalah banyaknya orang yang percaya akan klaim-klaim ini. Jika melihat di kolom komentar tiap berita tersebut, banyak orang yang mengucapkan selamat dan mendoakan mereka untuk keberhasilan itu. 

Sayangnya, terutama pada saat seperti ini, rasa percaya buta ini sebenarnya didasari oleh rasa putus asa yang mendalam; rasa putus asa karena COVID-19 ini tak kunjung berakhir. Tak jarang rasa putus asa membuat kita berhenti bertanya dan berpikir dengan akal sehat. Tak jarang rasa putus asa membuat kita menelan buta-buta berita yang belum tentu benar adanya.

Setelah dipikir-pikir, daripada menghujat dan berkeluh-kesah, mungkin lebih baik kita beralih ke menyebarkan akal sehat dan logika. Indonesia bukanlah negara yang kuat dibidang penelitian, seorang peneliti atau penemu di Indonesia tidak begitu dihargai oleh masyarakat dan pemerintah. Begitu pula terhadap proses penelitian itu sendiri. 

Ada alasan mengapa pembuatan obat baru itu mahal dan tidak gampang; ada berlapis lapis proses penelitian dibaliknya yang sering tidak dimengerti oleh masyarakat luas -- terutama karena publik (dan tentunya media masa) lebih tertarik untuk memberitakan mengenai hasil dari sebuah penelitian ketimbang proses dibaliknya.

Secara garis besar, proses pembuatan obat baru akan mengikuti fase-fase berikut:

  1. Fase praklinis - Ini adalah awalnya, obat akan diuji dalam tabung-tabung di laboratorium, di luar tubuh manusia. Pada fase ini, peneliti biasanya mencoba untuk melihat efek obat baru pada hewan. Setelah beberapa tes, peneliti akan meminta persetujuan agar dapat mulai uji coba obat pada manusia.
  2. Fase 1 uji klinis - Ini adalah awal pengujian obat baru pada manusia. Pada titik ini, peneliti akan menyelidiki profil keamanan obat dan mengidentifikasi dosis yang aman untuk diberikan pada manusia. Ini dapat berlangsung selama beberapa bulan hingga beberapa tahun, melibatkan sekitar 20-80 peserta studi.
  3. Fase 2 dari uji klinis - Pada titik ini, peneliti akan melihat keamanan obat pada dosis yang ditunjuk (yang sudah ditentukan pada fase 1) sementara pada saat yang sama mencari tahu tingkat kemanjuran obat. Ilmuwan akan mulai menggunakan pasien yang sedang sakit, untuk melihat apakah obat mereka efisien dalam mengobati kondisi tertentu. Fase ini dapat berlangsung selama beberapa tahun, melibatkan sekitar 100-500 peserta studi.
  4. Fase 3 uji klinis - Semebari masih menguji keamanan dan kemanjuran, peneliti juga akan mulai membandingkan obat baru mereka dengan obat konvensional yang sudah digunakan saat ini. Jika obat baru kurang efektif atau mirip dengan obat yang sudah terbukti, maka pengembangan obat ini mungkin tidak begitu bermanfaat. Fase ini adalah salah satu fase terpanjang dan dapat berlangsung selama beberapa dekade, melibatkan 1000-5000 peserta studi.
  5. Fase 4 uji klinis - Pada fase keempat, peneliti akan mencoba dan melihat efek jangka panjang dari obat tersebut. Beberapa obat memerlukan waktu lebih dari sepuluh tahun sebelum efek samping terwujud. Biasanya, studi fase 4 dilakukan setelah obat telah disetujui oleh badan administrasi obat nasional dan dirilis ke masyarakat umum. Fase ini biasanya melibatkan sekitar ribuan hingga puluhan ribu orang.

Yang dapat dilihat dari fase-fase berikut, pembuatan obat baru bukanlah hal yang mudah. Butuh waktu lama dan tenaga yang banyak untuk memastikan bahwa suatu obat baru aman dan efektif digunakan pada manusia. Setelah melihat fase-fase ini, agak ajaib rasanya kalau profesor dan praktisi obat tradisional yang saya sebut di paragraf atas bisa dengan PeDe nya mengklaim bahwa mereka menemukan obat untuk COVID-19. 

Tidak ada salahnya menggunakan jamu atau pengobatan alternatif; yang salah adalah melakukan klaim tanpa adanya bukti yang sahih. Klaim obat-obat COVID-19 yang tidak benar ini juga menghasilan efek "false-sense of security" atau rasa aman yang palsu pada masyarakat luas; orang bisa saja jadi berpikir bahwa COVID-19 tidak begitu berbahaya karena obatnya sudah ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun