Untuk kesekian kalinya hujan deras telah melumpuhkan Jakarta dan sekitarnya. Hujan deras yang gak berhenti-henti itu bukti dari cuaca ekstrim, pertanda #KrisisIklim adalah nyata, Sadarlah wahai manusia!
Bagi masyarakat Jakarta dan sekitarnya, banjir sudah jadi hadiah istimewa di tahun baru 2020. Banjir sudah menyebabkan kerusakan barang, kerugian, sakit dan bahkan kematian. Yang terburuk adalah trauma, khawatir ketika hujan deras datang, tidur lelap menjadi hal yang sulit dilakukan.
Drainase yang ada terbukti tidak efektif menampung air dengan hujan deras yang intensif. Yang buat tambah runyam karena masalah lingkungan ini malah dikaitkan dengan soal pilihan politik. Hingar bingar di ruang sosial media malah membahas politik dan menenggelamkan isu yang lebih besar soal lingkungan.Â
Ya memang, pemerintah bertanggung jawab soal tata kelola kota, jadi seharusnya asumsi cuaca ekstrim harus jadi asumsi dasar saat melakukan perencanaan kota dan tata ruang. Asumsi cuaca dan variabel lingkungan harusnya jadi dasar perencanaan dan pelaksanaan pemerintah selain variabel yang itu-itu aja seperti inflasi, nilai tukar dsb.
Lingkungan dan sustainability tidak jadi prioritas faktanya harus dikorbankan oleh lagi tidak ada leadership dalam pengelolaan lingkungan khususnya wilayah Jabodetabek. Contohnya keputusan pemerintah kota Jakarta untuk mengorbankan 200an pohon di areal Monas untuk gelaran balapan formula E, minimnya pemeliharaan dari pemerintah Bekasi atau Depok misalnya soal pepohonan di jalan-jalan utama dan wilayah pemukiman, dan banyak keputusan pemerintah daerah soal lingkungan yang jadi kontroversi bukan hanya di Jakarta, tetapi di wilayah lain seperti persoalan reklamasi di Bali dsb.Â
Hal ini seakan bertentangan dengan ajakan pemerintah untuk naik angkutan umum untuk mengurangi polusi tetapi di sisi lain melakukan hal yang bertentangan.
Let's focus on the main issue, #climatecrisis
Pemberitaan media dan aktivis soal kampanye lingkungan selalu menyalahkan perilaku konsumsi individu (pada bahan bakar minyak misalnya) sebagai satu-satunya penyebab krisis iklim, dengan hanya sedikit menyentuh soal tanggung jawab korporasi dan reformasi pada sistem.
Ini bukan soal perilaku mengendarai kendaraan pribadi yang jadi sebab mayoritas Krisis Iklim, tapi hal yang lebih mendasar soal perilaku konsumsi dan ekonomi masyarakat yang perlu direformasi.Â
Kita harus mengakui kalau ada kecenderungan untuk selalu harus mengikuti sesuatu yang baru, seperti ganti hp baru, mobil atau motor baru, pakaian baru, dll. Perilaku konsumen ini yang mendorong industri memproduksi lebih banyak lagi dari tingkatan sebelumnya. Akibatnya butuh energi lebih besar, pembakaran bahan bakar produksi yang lebih banyak dan akhirnya polusi yang lebih besar.
Di sisi lainnya pelaku bisnis, investor berorientasi pada pertumbuhan harga saham dan nilai harga saham pada profitabilitas perusahaan tanpa peduli mengorbankan soal sustainability. Kalau Para politisi di luar negeri menggunakan isu lingkungan untuk saling mengkritik, disini yang dipakai bukan soal perencanaan lingkungannya karena gak efektif, karena tidak banyak yang peduli.