Mohon tunggu...
Alfa Mightyn
Alfa Mightyn Mohon Tunggu... Universitas Mercu Buana | Dosen: Prof. Dr. Apollo, M.Si, Ak. | NIM: 55521120047

Universitas Mercu Buana | Dosen: Prof. Dr. Apollo, M.Si, Ak. | NIM: 55521120047 | Magister Akuntansi | Manajemen Perpajakan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Base Erosion and Profit Shifting: All You Need to Know About BEPS

18 April 2023   21:42 Diperbarui: 18 April 2023   21:54 654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Apa itu BEPS? (Dokumen Pribadi)

Apa itu BEPS?

Berkat perkembangan teknologi, modal semakin bebas bergerak, seakan tidak ada lagi hambatan bagi transaksi perdagangan antarnegara. Dari pergerakan masif ini, ekonomi dunia meningkat pesat. Peluang ini dimanfaatkan oleh perusahaan multinasional (multinational enterprise/MNE) untuk mengembangkan sebuah model bisnis global yang berlaku di seluruh dunia, di mana pun ia memiliki gurita bisnis.

Tujuan model bisnis ini tidak lain dan tidak bukan adalah memaksimalkan laba global. Salah satu peluang yang bisa dimanfaatkan adalah mengurangi pajak yang harus dibayar, dan bahkan mendekati nol.

Apakah mungkin?

Secara teknis, mereka bisa memanfaatkan gap dan perbedaan ketentuan pajak dari tiap negara. Suatu model bisnis yang dirancang bisa membuat profit MNE "hilang" saat akan dipajaki di suatu negara dengan menggesernya ke negara lain yang tarif pajaknya cenderung lebih rendah walaupun tidak ada kegiatan ekonomi signifikan di negara tersebut.

Skema inilah yang disebut sebagai penggerusan basis pajak dan pergeseran laba (Base Erosion and Profit Shifting/BEPS). Base Erosion and Profit Shifting terdiri dari dua klausa. Base Erosion berarti penggerusan basis pajak yang salah satunya dilakukan melalui profit shifting atau pergeseran laba. Pergeseran laba ini dapat berupa memindahkan laba ke low tax jurisdiction ataupun melalui biaya yang menjadi pengurang pendapatan, seperti bunga dan royalti. Beberapa teknik yang digunakan MNE dalam praktik BEPS:

  • Trademark and technology licensing/transfer pricing, MNE biasanya menciptakan trademark atau paten dan menempatkan pemiliknya pada low tax jurisdiction kemudian membebankan biaya royalti kepada anggota grup lain yang berlokasi di yurisdiksi yang berbeda.
  • Thin capitalization, MNE akan menempatkan modalnya dalam batas minimal di sebuah cabangnya, dan memberikan pembiayaan utang. Utang akan menghasilkan pembayaran bunga. MNE akan memanfaatkan perbedaan tarif pajak terkait bunga ini.
  • Hybrid mismatch arrangement, double non-taxation dapat diciptakan dengan memanfaatkan perbedaan ketentuan pajak antarnegara menggunakan suatu instrumen. Misal di suatu yurisdiksi ia diperlakukan sebagai bunga yang dapat dikurangkan dalam menghitung pajak, namun di negara lain ia adalah dividen yang dikecualikan dari pajak.
  • Putting assets into entities without substance, skema ini dilakukan melalui pembentukan paper company atau yang biasa disebut sebagai perusahaan cangkang.

Perkembangan teknologi juga mendorong tumbuhnya digital economy. Transaksi produk dan layanan digital berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain memanfaatkan internet sebagai media tanpa ada perpindahan fisik. Hal ini juga turut mempermudah praktik BEPS.

BEPS dilakukan dengan memanfaatkan perbedaan sistem pajak negara sumber dan negara domisili. Pemerintah yang sejauh ini berkomitmen untuk menghindarai 'double taxation' malah berpotensi menimbulkan 'gap' yang menyebabkan suatu penghasilan tidak dikenai pajak di mana pun, atau 'double non-taxation'.

Apakah strategi BEPS illegal?

Tidak. Strategi BEPS biasanya dilakukan secara legal walau memang ada sebagian kecil yang bersifat ilegal. Sebagian besar perusahaan melakukan BEPS dalam rangka memanfaatkan celah yang ada pada aturan pajak tiap negara. BEPS bukan suatu strategi yang hanya dilakukan beberapa perusahaan tertentu. BEPS terjadi di banyak negara yang berarti pokok permasalahan terletak di peraturan pajak itu sendiri.

Maka dari itu, menjadi tanggung jawab otoritas pajak untuk mengoordinasikan kebijakan pajak antarnegara dan mengubahnya sehingga MNE membayar pajak atas keuntungan yang diperoleh di lokasi yang seharusnya kegiatan ekonomi dilakukan.

Mangapa BEPS penting?

Bunkan hanya negara yang dirugikan dengan adanya BEPS ini, OECD (2013) setidaknya menyebutkan ada tiga pihak yang dirugikan, yaitu:

  • Pemerintah

Berdasarkan data OECD (2013) BEPS menyebabkan hilangnya potensi pajak global sebesar 100-240 miliar dolar atau Rp3.360 triliun. Angka ini mencapai 4-10% penerimaan pajak badan global. Penurunan ini lebih dirasakan akibatnya bagi negara berkembang yang biasanya mengandalkan pajak penghasilan badan.

Menurunnya penerimaan negara akibat praktik BEPS menyebabkan bertambahnya biaya kepatuhan yang ditanggung pemerintah. BEPS juga merusak integritas sistem pajak karena Wajib Pajak, publik, dan media merasakan ketidakadilan dari mereka yang membayar pajak lebih sedikit dari yang seharusnya. Hal ini akan menurunkan voluntary compliance Wajib Pajak lainnya.

Di sebagian besar negara, berkurangnya penerimaan pajak menyebabkan berkurangnya sumber pembiayaan belanja negara. Pilihannya hanya dua, mencari sumber pembiayaan lainnya atau mengurangi belanja negara termasuk belanja infrasturktur. Kedua pilihan ini memiliki akibat yang sama-sama tidak diinginnkan oleh masyarakat, menambah utang atau menghambat pertumbuhan ekonomi.

Mengapa BEPS Penting? (Dokumen Pribadi)
Mengapa BEPS Penting? (Dokumen Pribadi)
  • Wajib Pajak Orang Pribadi

Saat ketentuan pajak memungkinkan Wajib Pajaknya untuk melakukan profit shifting dari negara dimana mereka menghasilkan pendapatan ke negara atau yurisdiksi lain yang memiliki tarif pajak lebih rendah, Wajib Pajak lain, harus menangguang bagian beban pajak yang lebih besar.

  • Bisnis

Tidak seluruh MNE memanfaatkan strategi BEPS dalam desain bisnis globalnya. MNE yang mengambil stategi berbeda akan menderita kerugian kompetitif, termasuk risiko reputasi yang juga ikut menjadi sorotan publik dan pemerintah. Demikian pula perusahaan domestik yang semakin sulit bersaing dengan MNE yang memiliki kemampuan profit shifting untuk mengurangi beban pajak. Persaingan sehat akan didistorsi oleh BEPS.

Banyaknya pihak yang dirugikan oleh hadirnya BEPS menyebabkan otoritas pajak memberikan perhatian lebih besar pada isu ini. Pentingnya akibat yang ditimbulkan oleh BEPS membuat Aksi Anti-BEPS juga menjadi penting.

Bagaimana Anti-BEPS dilakukan?

Mulai tahun 2013, negara-negara yang tergabung dalam G20, termasuk Indonesia sepakat bekerja sama dengan Organization of Economic Co-operation and Development (OECD) untuk membuat BEPS Project. Tim yang beranggotakan 60 negara ini menyusun 15 Rencana Aksi yang terbagi dalam tiga kategori tujuan, yaitu:

  • Koherensi

Implementasi strategi Anti-BEPS akan lebih efektif bila dilakukan dalam kerangka kesepahaman yang sama. Cara yang berbeda akan menghasilkan celah yang dapat dimanfaatkan untuk praktik BEPS seperti ketentuan masing-masing negara yang selama ini diberlakukan. Koherensi ini mencakup pencegahan double taxation dan double non-taxation.

Tujuan koherensi ini diimplementasikan melalui beberapa aksi, yaitu:

Action 2: Neutralise the effects of hybrid mismatch arrangements

Action 3: Strengthen controlled foreign company (CFC) rules

Action 4: Limit base erosion involving interest deductions and other financial payments

Action 5: Counter harmful tax practices more effectively, taking into account transparency and substance

Bagaimana Anti-BEPS Dilakukan? (Dokumen Pribadi)
Bagaimana Anti-BEPS Dilakukan? (Dokumen Pribadi)
  • Substansi

BEPS dilakukan dengan memindahkan pendapatan MNE ke negara atau yurisdiksi lain tanpa adanya aktivitas substansi ekonomi yang menyertainya atau menggunakan skema artifisial. Maka, dibutuhkan kesesuaian hak pemajakan dengan substansi ekonomi yang mempertimbangkan perubahan model bisnis dan perkembangan teknologi.

Tujuan terkait substansi ini diimplementasikan melalui action berikut:

Action 6: Prevent treaty abuse

Action 7: Prevent the artificial avoidance of the permanent establishment status

Actions 8--10: Assure that transfer pricing outcomes are in line with value creation

  • Transparansi dan Kepastian

Ketidakmampuan otoritas pajak mendapatkan informasi yang komprehensif terutama yang berasal dari luar yurisdiksinya menyebabkan praktik BEPS semakin mudah dilakukan. Untuk itu, dibutuhkan transparansi baik dari Wajib Pajak maupun otoritas pajak negara lain. Transparansi dan kepastian ini diusahakan melalui penyederhanaan kewajiban kepatuhan MNE dan transparansi investasi lintas negara.

Tujuan transparansi dan kepastian ini diimplementasikan melalui beberapa aksi, yaitu:

Action 11: Establish methodologies to collect and analyse data on BEPS and the actions to address it

Action 12: Require taxpayers to disclose their aggressive tax planning arrangements

Action 13: Re-examine transfer pricing documentation

Action 14: Make dispute resolution mechanisms more effective

Sedangkan dua aksi lainnya Action 1: Address the tax challenges of the digital economy dan Action 15: Develop a multilateral instrument to modify bilateral tax treaties melingkupi tiga tujuan di atas sekaligus. Hingga saat ini 137 yurisdiksi di dunia telah mengimplementasikan BEPS Action Plan.

Kelimabelas aksi ini menjadi alat yang dapat digunakan tiap negara untuk memastikan bahwa laba dikenai pajak di mana kegiatan ekonomi yang menghasilkan laba tersebut dilakukan. Aksi ini juga memberi kepastian pada dunia bisnis dengan mengurangi perbedaan atas penerapan aturan pajak dan standar kepatuhan internasional. Proyek BEPS ini bukan hanya berfokus pada penghindaran pajak namun juga ditujukan untuk melawan kompetisi pajak yang merugikan yurisdiksi lain, dan melawan aggressive tax planning.

Pada 2016, dibentuk Inclusive Framework on BEPS OECD/G20 untuk memastikan negara atau yurisdiksi, termasuk negara berkembang, memiliki kesempatan yang setara untuk berpartisipasi pada pengembangan standar terakti isu BEPS sekaligus memantau implementasi Proyek BEPS OECD/G20.

Dari kelimabelas aksi tersebut, terdapat 4 standar minimum yang harus diimplementasikan lebih dulu. Monitoring yang dilakukan oleh Inclusive Framework on BEPS OECD/G20 dilakukan melalui peer review dan menghasilakn rekomendasi perbaikan. Monitoring dilakukan atas Aksi 5 pada tahun 2017, Aksi 13 dan 14 di tahun 2018, dan Aksi 6 di tahun 2019.

Selanjutnya pada 2017 dihasilkan sebuah Multilateral Instrument (MLI) yang sampai saat ini telah ditandatangani oleh 90 yurisdiksi. MLI ini memungkinkan implementasi proyek BEPS yang lebih efisien tanpa perlu merenegosiasi perjanjian pajak bilateral.

Dalam perjalanannya ke-15 aksi ini belum dapat menangkal BEPS secara signifikan. Salah satu yang menjadi permasalahan utama adalah digital economy. Untuk itu Inclusive Framework on BEPS OECD/G20 menyusun suatu framework jangka panjang berbasis konsensus untuk menghadapi tantangan digital economy ini. Pada Januari 2020 diputuskan dua pilar, yaitu:

  • Pillar 1, solusi untuk menentukan alokasi hak pemajakan (nexus dan profit allocation)
  • Pillar 2, merancang sistem yang memastikan bahwa MNE membayar pajak minimum atas laba yang mereka peroleh.

Pillar 1 rencana implementasinya akan ditunda hingga 2024, sedangkan Pillar 2 akan mulai diimplementasikan pada 2023.

BEPS dari sudut pandang Wajib Pajak

Seperti yang dibahas di awal, dunia bisnis dan Wajib Pajak lain ikut dirugikan dengan adanya praktik BEPS ini. Wajib Pajak lain ikut menanggung beban pajak yang lebih besar dan menciptakan ketidakadilan kompetisi bisnis.

Dengan adanya BEPS Action Plan hingga pembahasan Pillar 1 dan Pillar 2 yang hingga kini menunggu finalisasi, beberapa Waji Pajak memberikan pendangan dari sudut pandang yang berbeda, seperti:

  • Untuk mengeliminasi persaingan tarif pajak, harus ada platform global melalui konvensi multilateral yang memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak terutama MNE yang beroperasi di beberapa negara berbeda.
  • Penentuan entitas yang masuk dalam cakupan Pillar 1 dan Pillar 2 harus diperjelas, supaya tidak ada Wajib Pajak yang memanfaatkan celah aturan.
  • Transparansi pengungkapan kewajiban terkait implementasi Pillar 1 dan Pillar 2.
  • Kompleksnya ketentuan atau peraturan terkait BEPS Project hingga implementasinya di Indonesia menjadi tanggung jawab otoritas pajak untuk memberikan edukasi yang cukup kepada Wajib Pajak.
  • Mekanisme penyelesaian sengketa yang melibatkan beberapa negara hendaknya diseragamkan supaya memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak.
  • Pillar 1 dan Pillar 2 diprediksi akan meningkatkan biaya kepatuhan Wajib Pajak.
  • Otoritas pajak, dalam hal ini DJP juga dinilai perlu memperhatikan peningkatan dukungan IT dan kompetensi SDM.

What's Next?

Peer review atas implementasi standar minimal BEPS akan terus dilanjutkan termasuk evaluasi substansi pada low tax jurisdiction (aksi 5) dan monitoring Mutual Agreement Procedure (aksi 14). MLI juga akan terus didorong ratifikasinya (aksi 6) untuk mendukung implementasi BEPS Action Plan lainnya.

Data mengenai agregat Country-by-Country Reporting (terkait aksi 13) akan terus dikumpulkan secara anonim yang berguna bagi pengukuran dampak BEPS (aksi 11). Dengan semakin banyaknya data, dapat terlihat berapa kerugian sesungguhnya dari penghindaran pajak dan manfaat yang didapatkan dari Proyek BEPS ini.

Mengukur secara praktik berapa BEPS di suatu negara tertentu tidaklah mudah. Belum ada studi empiris yang dapat mengukur secara akurat berapa nilai BEPS di Indonesia. Menurut Kristiaji dan Vissaro (2017) terdapat tiga alasan hal ini sulit dilakukan, yaitu secara substantif sulit menggabungkan semua faktor yang mendorong praktik BEPS dalam model estimasi. Kemudian secara teknis, akan sangat sulit untuk menentukan sampel yang tepat dan tipe data yang tepat untuk digunakan dalam penelitian. Dan yang terakhir adalah data yang ada masih sangat terbatas di Indonesia.

Berkaitan dengan isu digitalisasi ekonomi, pembahasan dua pillar utama akan terus dilanjutkan untuk menghasilkan solusi jangka panjang berbasis konsensus.

Referensi

Kristiaji, B.B. & Vissaro, D. (2017). Measuring BEPS and Its Countermeasures in Indonesia: A Preliminary Research Guide. Tax Law Design and Policy Series DDTC Working Paper 1717.

OECD. (2013). Action Plan on Base Erosion and Profit Shifting. OECD Publishing. http://dx.doi.org/10.1787/9789264202719-en

OECD. (2013). Addressing Base Erosion and Profit Shifting. OECD Publishing. http://dx.doi.org/10.1787/9789264192744-en

OECD. (2022). OECD/G20 Inclusive Framework on BEPS: Progress Report September 2021-September 2022. OECD Publishing. https://www.oecd.org/tax/beps/oecd-g20-inclusive-framework-on-beps-progress-report-september-2021-september-2022.pdf

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun