Mohon tunggu...
Miftachul Khawaji
Miftachul Khawaji Mohon Tunggu... Seniman - Guru

Tukang gambar dan kadang suka nulis.. 👨‍🎓Islamic History and Civilization 2016

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Raden Saleh: Seorang Patriotis atau Antek Belandakah?

22 Mei 2023   09:15 Diperbarui: 22 Mei 2023   09:40 1402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nama dan Nasab yang Harum

Raden Saleh Syarif Bustaman, begitulah orang-orang menyebut nama tokoh besar yang pernah menghiasi sejarah bangsa Indonesia ini. Namanya begitu harum didengar dengan segala keagungan kualitas pribadi yang dimilikinya. Nama besarnya dikenal sebagai seorang pelukis handal yang populer di daratan Eropa sekaligus sebagai pelopor seni lukis modern di Indonesia. Ia juga seorang arsitek sekaligus perancang pertamanan, kolektor dokumen etnografi sekaligus ahli arkeologi dan paleontologi, serta pendiri berbagai taman margasatwa.

Selain memiliki nama yang harumnya begitu semerbak, Nasab Raden Saleh tak kalah harum pula. Terlahir dari keluarga bangsawan sekaligus keturunan 'Alawi bermarga bin Yahya, yang artinya bahwa darah manusia teragung, Nabi Muhammad SAW juga mengalir dalam dirinya.

Raden Saleh dilahirkan di Terboyo, sebuah daerah kecil di pesisir Semarang, Jawa Tengah. Ayahnya bernama Sayyid Husein bin Alwi bin Yahya, sedangkan ibunya bernama Mas Ajeng Zarip Husein. Kedua orang tua Raden Saleh tersebut masih memiliki garis keturunan dari Kyai Ngabehi Kertoboso Bustam (1681-1759 M), seorang asisten Residen Terboyo sekaligus pendiri keluarga besar Bustaman yang kelak melahirkan para residen, patih, dan anggota utama kelas priayi bangsawan.

Beberapa anggota keluarga Bustaman ada yang memegang jabatan sebagai penghulu, yakni pejabat Islam tertinggi di suatu wilayah. Puncak karir keluarga Bustaman diraih ketika jabatan Bupati Semarang dipegang oleh Adipati Suroadimenggolo V alias Kanjeng Terboyo (1765-1827 M) yang merupakan paman sekaligus ayah angkat dari Raden Saleh. Di kediaman pamannya inilah Raden Saleh menghabiskan masa kecilnya dikarenakan sang ayah telah meninggal di usia muda, dan di sana pula ia nantinya berkenalan dengan pejabat Hindia-Belanda yang merupakan teman dekat dari pamannya, yakni Baron van der Capellen dan Profesor Carl Reindwartdt. 

Kedua pejabat Hindia-Belanda ini terkesima dengan bakat menggambar yang dimiliki Raden Saleh, sehingga kemudian menganjurkan Kanjeng Bupati Terboyo untuk mengirimkan kemenakannya tersebut ke sebuah sekolah di Cianjur, di mana di tempat tersebut terdapat juru gambar resmi pemerintahan Hindia-Belanda, Adrianus Johannes Bik. Tak lama setelah itu ia kemudian tinggal bersama seorang pelukis berdarah Belgia, Antoine Auguste Jean Joseph Payen, selama beberapa tahun di Buitenzorg (Bogor). Dari nama-nama inilah yang kelak akan menjadi jembatan utama karir profesional Raden Saleh di beberapa negara di Eropa, seperti Belanda, Jerman, Italia, Perancis dan Inggris.

Berbekal dana beasiswa dari pemerintahan Belanda, Raden Saleh menghabiskan kurang lebih 23 tahun lamanya untuk mempertajam bakatnya dengan belajar kepada para maestro lukis seperti Cornelis Cruseman, Horace Vernet, Andries Schelfhout, serta tokoh-tokoh besar lainnya.

Berkat keseriusannya dalam memperdalam ilmu seni di Eropa inilah kemudian nama Raden Saleh dikenal luas melalui karya-karyanya yang fenomenal dengan gaya romantisisme sebagai ciri khasnya. Tak heran jika kemudian keharuman nama Raden Saleh juga tercium oleh tokoh-tokoh besar kerajaan, sehingga ia dapat berteman akrab antara lain dengan Pangeran Adipati Ernst II dari Coburg, hingga akhirnya nanti diangkat sebagai juru gambar resmi Kerajaan Belanda. Sekembalinya ke Jawa pun kelak ia juga memiliki hubungan baik dengan pejabat tinggi pemerintahan Hindia-Belanda, meskipun tidak sedikit pula yang membencinya.

Di tengah ingar bingar kehidupan Eropa yang tentunya jauh berbeda dari adat kebiasaan dan agama kepercayaannya, Raden Saleh senantiasa menetapkan diri akan keislamannya meskipun sempat beberapa kali dibujuk untuk berpindah agama. Ia akan tetap bergegas menunaikan kewajiban sholatnya setiap terdengar adzan, bahkan ia juga tak segan meminta rekannya untuk menyepak kakinya di bawah meja makan jika ada makanan yang mengandung daging babi yang dihidangkan dalam jamuan makannya.

Sebagai seorang arkeolog dan ahli paleontologi yang sering berurusan dengan fosil-fosil peninggalan masa lalu, Raden Saleh pernah berdiskusi dengan rekan seprofesinya yang mendukung penuh Teori Darwin mengenai teori evolusi. Raden Saleh pun memilih untuk tidak memberikan pandangannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan apa yang diajarkan dalam agamanya.

Tak hanya itu, Masjid Biru yang terletak di Maxen, Dresden, merupakan kenangan tentang bukti keislaman Raden Salah yang bertahan lama di Eropa. Masjid Biru ini adalah sebuah bangunan yang didirikan oleh salah satu sahabatnya, Mayor Friedrich Anton Serre, pada tahun 1855 yang dijadikan simbol prasasti kehadiran Raden Saleh yang cukup lama di Jerman. Di atas pintu masjid tersebut tertulis motto hidup yang bersumber dari Raden Saleh dengan tulisan aksara Jawa dan Latin berbunyi "Hormatilah Tuhan dan cintailah manusia".

Raden Saleh dilahirkan dalam keluarga muslim, dan tetap mempertahankan kepercayaannya tersebut hingga akhir hayat menjemputnya pada tahun 1880. Ia dikebumikan dengan upacara pemakaman sesuai ajaran Islam. Jenazah Raden Saleh dimakamkan di Kampung Empang, pinggiran kota Bogor. Prosesi pemakaman ini merupakan peristiwa besar karena hampir seluruh lapisan komunitas kolonial di Bogor merasa perlu untuk menghadirinya. 

Jenazah Raden Saleh diiringi oleh banyak pejabat pemerintahan, residen, para tuan tanah, para haji, penghulu, kiai, serta umat muslim dari segala lapisan masyarakat, begitu juga orang-orang Jawa, termasuk para pemuda Jawa dari sekolah pertanian turut berpartisipasi dalam prosesi pemakaman Raden Saleh. Tak lupa, lima medali kehormatan yang diraih selama Raden Saleh hidup pun turut diarak menuju tempat pembaringan terakhirnya.

Tertulis pada nisan makamnya "Raden Saleh Djoeroegambar dari Sri Paduka Kandjeng Radja Wolanda", berangkat dari kalimat pada nisan itulah yang kelak akan sering melahirkan banyak tafsir yang melahirkan perdebatan berkepanjangan mengenai jiwa patriotik Raden Saleh.

Di tanah kelahirannya, Semarang, namanya diabadikan sebagai nama tempat yang menjadi pusat kesenian dan kebudayaan Jawa Tengah yang berlokasi di Jl. Sriwijaya Nomor 29 Kota Semarang, yakni Taman Budaya Raden Saleh (TBRS).

 

@terARTe.id
@terARTe.id

Raden Saleh, Seni dan Patriotisme Simbolik 

Selain meninggalkan beberapa karya yang fenomenal, kehidupan yang dijalani Raden Saleh juga meninggalkan beberapa pertanyaan hingga perdebatan, khususnya mengenai rasa patriotisme dan kecintaan terhadap bangsa dan tanah air, yang mana perdebatan itu sendiri telah lama ada sebelumnya dalam jiwa dan perasaan Raden Saleh sendiri. Ya, Raden Saleh sempat mengalami kegundahan yang cukup besar dalam kehidupannya.

Raden Saleh merasa gundah akan identitasnya yang tidak jelas. Ia pergi ke Eropa sebagai penduduk asli Hindia, lalu kembali ke tanah air sebagai orang Eropa modern yang tidak diakui oleh masyarakat tanah air, tetapi bukan pula bagian yang cocok bagi masyarakat Eropa. Ia dijauhi bangsanya karena dianggap telah menjadi "wong londo" karena sempat lama hidup di Eropa sana. Ia dianggap menikmati hidup dengan segala kemewahan fasilitas dari pihak yang sedang menginjak-injak bangsanya sendiri, sementara paman dan sepupunya tengah menderita dalam pengasingan karena memperjuangkan tanah airnya. 

Para pejabat Hindia-Belanda pun sebagian ada yang bersikap tidak layak terhadap Raden Saleh, mengingat ia memiliki hubungan erat dengan Adipati Terboyo dan anaknya yang mendukung Pangeran Diponegoro dan terlibat dalam perang Jawa. Raden Saleh pun sempat difitnah ikut terlibat dalam pemberontakan terhadap pemerintah Hindia-Belanda. Sempat pula ada orang yang mengutus mata-mata yang menyamar menjadi pembantu di rumahnya untuk mengawasi segala gerak-gerik Raden Saleh.

Pertanyaan dan perdebatan mengenai identitas Raden Saleh ini, apakah ia adalah orang yang patriotis atau justru antek Belanda masih hangat diperbincangkan hingga saat ini. Untuk memecahkan permasalahan sekaligus menjawab pertanyaan tersebut, sekiranya dibutuhkan beberapa aspek, khususnya yang berkaitan langsung dengan Raden Saleh. Baik mengenai sikap dan perilaku semasa hidupnya, maupun peninggalan-peninggalan yang ia wariskan, dalam hal ini adalah lukisan-lukisan karyanya.

Untuk dapat mengetahui tentang bagaimana Raden Saleh menyikapi permasalahan tersebut semasa hidupnya, tentu diperlukan banyak sumber sejarah yang mengisahkan perjalanan hidup Raden Saleh agar dapat dijadikan sebagai bahan untuk menganalisis. Bahan-bahan ini juga akan berguna dalam upaya menginterpretasi dan menafsirkan makna-makna simbolik dalam karya-karya yang diciptakan oleh Raden Saleh.

Dalam sejarahnya, telah umum diketahui bahwa semasa kecil Raden Saleh diasuh oleh pamannya, Adipati Terboyo. Meskipun pamannya ini dekat dengan petinggi pemerintahan Hindia-Belanda, namun di tempat tinggalnya pula lah sering berdatangan tamu utusan Pangeran Diponegoro yang berasal dari Tegalreja. Di tempat itulah kemudian sering terjadi diskusi-diskusi panjang hingga larut malam untuk saling bertukar berita dan saling memberikan pandangan terhadap beberapa permasalahan. 

Tak lupa, Raden Sukur dan Raden Saleh Aria Natadiningrat, dua putra dari adipati Terboyo yang juga turut serta dalam diskusi. Dari keluarga Adipati Terboyo inilah kemudian muncul bibit-bibit patriotisme dalam diri Raden Saleh karena sang paman dan anak-anaknya tak sungkan untuk bertukar pikiran pula dengan Raden Saleh, bahkan tak jarang pula terjadi pembicaraan yang panjang di antara mereka.

Dalam perjalanan hidupnya di Eropa, Raden Saleh pernah ditugasi untuk mengidentifikasi dan memberikan penilaian terhadap salah satu keris Pangeran Diponegoro yang "disita" sebagai upeti rampasan perang. Dalam kesempatan tersebut, tentu terjadi pergolakan perasaan yang hebat dalam diri Raden Saleh, hingga akhirnya setelah memberikan ulasan singkat mengenai Keris "Kiai Naga Siluman" tersebut, Raden Saleh memberanikan diri untuk mengusulkan agar keris tersebut dikembalikan dengan hormat kepada pemiliknya.

Sebagai seorang pelukis bertaraf internasional, tentunya Raden Saleh telah melahirkan banyak karya selama hidupnya. Tak sedikit pula dari karya-karyanya tersebut yang dibumbui dengan semangat kecintaannya terhadap bangsa dan tanah air. Di antara karya yang kental dengan aroma jiwa nasionalis seorang Raden Saleh adalah karya yang berjudul "Een Strijd op Leven en Dood", sebuah karya yang menggambarkan pertempuran hidup mati antara seekor banteng liar melawan dua ekor singa. 

Lukisan ini ditafsirkan sebagai pernyataan sikap Raden Saleh sebagai seorang bumiputra yang terpaksa melawan saat diperlakukan tidak adil oleh pemerintah Belanda di Hindia. Hal ini terinspirasi dari tradisi Rampogan, di mana salah satu rangkaian acara dalam tradisi tersebut yakni dipentaskan adu kekuatan antara seekor kerbau atau banteng melawan harimau. Ujung tanduk kerbau itu dikikir tajam, sedangkan harimau yang dipilih sebagai lawan tanding umumnya berbadan kecil, sehingga jarang sekali menang melawan kerbau. 

Jikalaupun ada yang berhasil selamat, maka harimau tadi segera menjadi korban acara pelemparan tombak di sesi acara berikutnya. Raden Saleh pernah mendapat penjelasan dari pamannya mengenai simbolisme dalam tradisi tersebut. Yakni macan atau harimau itu merupakan gambaran sifat wong Londo. Perkasa, sigap, menakutkan, tetapi tidak memiliki daya tahan lama atas segela kelebihannya tadi. Sebaliknya, banteng atau kerbau itu ibarat orang Jawa. Lamban, pendiam, tetapi kukuh dan mampu bertahan dalam kesusahan. Berangkat dari simbolisme inilah Raden Saleh menuangkan gagasannya dalam karyanya tersebut.

Karya lain yang tak kalah fenomenal adalah lukisan "Penangkapan Pangeran Diponegoro", sebuah lukisan yang diakui sebagai masterpiece yang kemudian dipersembahkan kepada Raja Belanda, William III. Lukisan tersebut merupakan karya pertama Raden Saleh yang bertema sejarah, yang sejatinya merupakan upaya Raden Saleh untuk "pelurusan" sejarah yang sengaja dipelintir oleh orang-orang Belanda mengenai penangkapan Pangeran Diponegoro. 

Khususnya, lukisan ini ditujukan sebagai pembanding atas lukisan versi Belanda dengan latar dan tema sama yang dibuat oleh Nicolaas Pieneman, seseorang yang bahkan belum pernah ke tanah Jawa sebelumnya ketika membuat lukisan tersebut. Di dalam karya Pieneman itu digambarkan De Kock dengan segala kegagahannya berdiri mengacungkan telunjuk meminta Pangeran Diponegoro agar segera naik kereta yang akan membawanya menuju pengasingan. Sementara sang pangeran dengan wajah pasrah tak berdaya sedang berjalan pergi dengan wajah tertunduk menuruti perintah De Kock.

Jelas apa yang digambarkan dalam versi Belanda tersebut merupakan upaya pemelintiran sejarah yang kejam. Dalam sebuah riset pribadinya yang berjalan kurang lebih enam bulan, Raden Saleh menelusuri kembali jejak perlawanan sang pangeran, menengok desa-desa sepanjang Praga dan Bagawanta yang dahulu menjadi basis pertahanan terakhir pasukan Diponegoro. 

Di sana lah ia memperoleh kisah yang berlawanan dengan versi pemerintah Belanda, yang mana menurut anak-cucu pejuang yang tinggal di desa-desa tersebut, tidak mungkin pangeran sudi menyerahkan diri sementara dukungan rakyat masih cukup besar. Iya, pangeran dijebak untuk kemudian ditangkap dalam sebuah strategi picik atas nama perundingan perdamaian, bukan pasrah datang untuk menyerahkan diri.

Alhasil, karya lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro versi Raden Saleh dibuat berdasarkan semangat nasionalisme yang ada dalam diri Raden Saleh. Ia menggambarkan sang pangeran terlihat tegap perkasa menatap lurus wajah De Kock tanpa adanya rasa takut. Ini menggambarkan jilatan api kamarahan yang berkobar di wajah pangeran karena ia telah ditipu. 

Di dalam lukisan itu pula ia ingin memperlihatkan kepicikan dan kepongahan Belanda, di mana kepala tokoh-tokoh Belanda di dalam lukisan tersebut digambarkan seperti ikan buntal yang menggelembung demikian besar. Penggambaran versi Raden saleh inilah yang di kemudian hari menjadi inspirasi bagi para pelukis yang datang di era berikutnya menggambarkan sosok heroik dari Pangeran Diponegoro lengkap dengan sorban dan jubah putihnya.

Tentu semangat kecintaan terhadap bangsa dan tanah air yang membumbui karya tersebut juga terpengaruh oleh kedekatan emosi sebagai sesama pribumi. Terlebih lagi, keluarga Raden Saleh pun tidak sedikit yang menjadi pendukung pangeran Diponegoro.

Itulah mengapa kemudian para pejabat Hindia-Belanda yang mengetahui kecerdasan dan bakat Raden Saleh menyarankan agar Raden Saleh dibawa ke Eropa, tidak hanya untuk tujuan keilmuannya saja, tapi juga sekaligus merupakan upaya menjauhkan Raden Saleh agar tidak terpengaruh turut serta melawan pemerintah kolonial, karena bagi mereka akan sangat disayangkan jika bibit berpotensi tersebut harus disingkirkan karena tidak sejalan dengan pemerintahan kolonial.

Meskipun demikian, setelah lebih dari dua dekade Raden Saleh menghabiskan waktunya di daratan Eropa, ia tetap mewarisi semangat kecintaan terhadap bangsa dan tanah airnya. Hanya saja ia mengekspresikannya melalui jalan dan media yang berbeda. Yakni melalui pesan-pesan simbolik dalam karya-karya yang dibuat selama hidupnya, karena terkadang, seni dapat menjelaskan lebih lugas apa yang ingin disampaikan oleh penciptanya. Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh seorang sufi besar dari India, Hazrat Inayat Khan: "Apa yang tak bisa disampaikan oleh ilmu pengetahuan, maka seni dapat mencoba menjelaskan..."

Kekuatan seniman, menurut 'Allama Sir Iqbal, yakni terletak pada kemampuannya membuat orang lain merasakan tingkat intuisi dalam pengalaman penting sang seniman. Tentu tak cukup hanya sampai di situ, kesenian sejati dalam Islam haruslah memiliki manfaat nyata serta mampu menjadikan para penikmatnya meningkatkan kadar kualitas dirinya. Dalam kaitannya dengan kehidupan Raden Saleh dan karya-karyanya yang penuh nafas semangat patriotisme tersebut, diharapkan mampu menggelorakan semangat membara bagi para penikmatnya agar senantiasa meningkatkan kecintaannya terhadap bangsa dan tanah airnya.

 

kompas.id
kompas.id

https://www.kompasiana.com/image/miramarsellia/5519304b813311a8749de0c6/dua-abad-setelah-kelahiran-seorang-raden-saleh?page=1
https://www.kompasiana.com/image/miramarsellia/5519304b813311a8749de0c6/dua-abad-setelah-kelahiran-seorang-raden-saleh?page=1

Daftar Pustaka

Effendi, Kurnia. 2019. Mencari Raden Saleh. Yogyakarta: Diva Press.

Harsja W.B. dkk. 2009. Raden Saleh: Anak Belanda, Mooi Indie & Nasionalisme. Depok: Komunitas Bambu.

Hendrawan, Iwan. 2014. Mengenal Pelukis Dunia dan Indonesia. Jakarta: PT Mapan.

Iksaka Banu, Kurnia Effendi. 2020. Pangeran Dari Timur: Novel Biografi Raden Saleh. Yogyakarta: Bentang.

Kraus, Werner. 2018. Raden Saleh: Kehidupan dan Karyanya. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Pusat Data dan Analisa Tempo. 2019. Pelukis-Pelukis Indonesia Seri 3. Jakarta: Tempo Publishing.

Soekanto. 1951. Dua Raden Saleh: Dua Nasionalis dalam Abad ke 19. Jakarta: NV. Poesaka Aseli.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun