Mohon tunggu...
Mieska Despitasari
Mieska Despitasari Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa S3 UI

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Apa Kata Prabowo dan Jokowi tentang BPJS/ JKN?

16 Juni 2014   17:50 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:31 748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah debat capres-cawapres semalam, dengan berbagai janji-janji manis Prabowo dan Jokowi, Saya jadi tergelitik untuk membuka dokumen visi dan misi mereka. Setelah browsing di mbah Google, saya dapatkan link nya: http://www.kpu.go.id/koleksigambar/VISI_MISI_prabowo-Hatta.pdf dan http://kpu.go.id/koleksigambar/VISI_MISI_Jokowi-JK.pdf.

Jelas perbedaan antara keduanya dari sisi bahasa maupun prioritas. Tapi Saya tidak akan bahas detail. Saya lebih tertarik untuk tahu pendapat mereka soal Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)/ Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pertama, siapa di antara keduanya yang memuat kata BPJS/ JKN? Ternyata Prabowo-Hatta. Jokowi-JK juga menyinggung masalah jaminan kesehatan tapi dengan istilah yang lain. Kedua, mari kita lihat lebih dalam dokumen visi misi tersebut.

Salah satu misi pasangan Prabowo-Hatta adalah “mewujudkan Indonesia yang berkeadilan sosial, dengan sumber daya manusia yang berakhlak, berbudaya luhur, berkualitas tinggi: sehat, cerdas, kreatif dan terampil”. Setidaknya menyatakan bahwa SDM yang berkualtas tinggi salah satu cirinya adalah “sehat”. Dalam bagian ke lima dari Agenda dan Program Nyata untuk Menyelamatkan Indonesia, tercantum poin khusus mengenai BPJS kesehatan dan ini menjadi poin pertama dari bagian tersebut “Menjamin pelayanan kesehatan gratis bagi rakyat miskin melalui percepatan pelaksanaan BPJS kesehatan”. Didetailkan lagi dalam poin ke-5 bagian tersebut, bahwa akan ada peningkatan peran PKK, posyandu dan puskesmas. Serta dalam poin ke-7 bahwa akan ada suatu kewajiban bagi sarjana dan dokter yang baru lulus untuk mengabdi di daerah miskin dan tertinggal. Menerka-nerka maksudnya, mungkin Prabowo ingin program JKN dilaksanakan dengan lebih baik, dengan meningkatkan peran Puskesmas. Agar puskesmas dapat berperan, terutama yang berada di daerah miskin dan tertinggal, maka aka nada tambahan SDM, yaitu para sarjana dan dokter yang baru lulus. Mungkin begitu maksudnya…ya setidaknya Prabowo tahu ada program JKN dan akan melanjutkannya.

Bagaimana dengan Jokowi-JK?, di dalam visi misinya ada poin “kami akan meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia”, yang salah satunya dicantumkan melaui peningkatan layanan kesehatan masyarakat dengan menginisiasi Kartu Indonesia Sehat. Dalam poin yang lain, yaitu “kami berkomitmen untuk pemberdayaan perempuan dalam politik dan pembangunan” di dalamnya memuat tentang kesehatan. Kenapa tidak dibuat poin yang terpisah ya? Malah masuk ke dalam pemberdayaan perempuan?

Karena penasaran, saya yang bukan siapa-siapa ini mencoba mengirimkan e-mail ke alamat e-mail kedua capres. Namun, usaha tersebut sia-sia karena ternyata kedua alamat e-mail yang saya dapatkan dari biodata capres di web KPU tersebut entah palsu atau salah ketik...yang jelas keduanya unknown address.

Lantas saya coba mencari official website dari kedua tim sukses. Ketika saya tanya tentang JKN/ BPJS ke kubu Prabowo, respon muncul dalam jangka waktu 25 menit : “terima kasih anda telah berpartisipasi dan berbagi bersama kami. Tujuan diadakannya program tersebut tentu baik dan perlu untuk dilakukan tinjauan-tinjauan dan koreksi selama berjalannya program tersebut. Apabila baik dan masyarakat pun merasakan manfaatnya, tentu harus diteruskan dengan melihat hasil dan tinjauan dari koreksi yang ada selama program tersebut berjalan. Salam Indonesia Raya!”. Hal yang sama saya layangkan juga ke kubu Jokowi, tapi sampai tulisan ini Saya upload, belum ada respon.

Hmmm...jadi sebenarnya kedua capres kita ini sudah “ngeh” bahwa di negeri yang akan dipimpinnya ini sudah ada program yang bernama JKN belum ya? Sudah pahamkah mereka apa itu JKN? Padahal masih banyak persoalan tentang JKN yang perlu dicarikan solusinya agar JKN berjalan lebih baik. Di antara persoalan tersebut adalah isu keselamatan pasien (patient safety).

Jika meninjau Puskesmas sebagai Pemberi Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama (PPK I), per Desember 2013, terdapat 9.215 puskesmas yang telah dikontrak oleh BPJS dan memiliki 16.756 dokter. Dengan rasio 1 dokter melayani 5000 peserta JKN, maka sebenarnya dibutuhkan 18.058 dokter, sehingga terdapat kekurangan tenaga dokter sebanyak 6.947 orang. Distribusinya pun belum merata, DKI Jakarta dan Jawa Tengah masih memiliki sekitar 20 puskesmas tanpa dokter.Puskesmas tanpa dokter di Provinsi Papua bahkan mencapai 136 puskesmas. Ini menunjukkan bahwa distribusi dokter memang belum merata, terutama di daerah terpencil.Akibatnya apa? Tenaga medis lain terpaksa melaksanakan tugas dan kewenangan dokter. Jika demikian, apakah keselamatan pasien tidak terancam? Ih...serem…



Padahal sebenarnya kekurangan tenaga dokter dapat dipenuhi dengan penempatan dokter internsip dan dokter Pegawai Tidak Tetap (PTT). Untuk daerah terpencil dapat dilakukan pengangkatan CPNS dokter yang merupakan putra daerah setempat dengan tambahan insentif yang sesuai. Sedangkan di perkotaan, kapitasi(pembayaran BPJS kepada fasilitas pelayanan kesehatan, per pasien per bulan, yang dibayarkan di awal) mungkin dapat menarik dokter fasilitas kesehatan swasta dan dokter praktik mandiri di sekitar puskesmas yang bersangkutan untuk mengisi kekosongan tenaga dokter. Tidak meratanya distribusi dokter dapat diatasi dengan pemindahan (redistribusi) dokter dari puskesmas yang kelebihan tenaga dokter. Strategi-strategi tersebut juga dapat diterapkan untuk jenis tenaga medis yang lain.

Selain ketenagaan, puskesmas juga selayaknya memenuhi standar peralatan. Standar alat poliklinik yang harus ada di puskesmas diantaranya meliputi stetoskop, tensimeterdan timbangan. Namun ternyata masih ada puskesmas di negeri “pelaksana asuransi kesehatan terbesar di dunia” ini, yang tidak memiliki salah satu atau bahkan ketiga alat tersebut. Masih ada 12,1% puskesmas di Indonesia yang tidak memiliki ketiga alat tersebut dengan lengkap. Permasalahan ketidaklengkapan peralatan ini dapat diatasi jika saja para pemangku kebijakan mau benar-benar memanfaatkan data hasil penelitian fasilitas kesehatan yang sudah ada, bukan hanya hasil perkiraan atau “pesanan”. Sehingga, pengadaan peralatan kesehatan dapat tepat jumlah, tepat waktu, dan tepat tempat. Kalau saja kredensialing benar-benar dijalankan oleh BPJS, tersisa berapa ya puskesmas di Indonesia yang layak menjadi PPK I ? (Kredensialing: proses evaluasi untuk menyetujui atau menolak fasyankes apakah dapat diikat dalam kerjasama dengan BPJS kesehatan yang penilaiannya didasarkan pada aspek administrasi dan teknis pelayanan)

Semoga proses kredensialing fasilitas pelayanan kesehatan itu makin berjalan dengan baik. Buat apa BPJS punya unit pengendali mutu pelayanan dan penanganan pengaduan kalau ternyata “mandul”. Peserta JKN harus dilindungi. Kecuali jika BPJS ingin berbalik peran dari “guardian angel” menjadi “malaikat pencabut nyawa” peserta JKN. Bapak-bapak capres, JKN kita ini masih seumur jagung, biarkanlah dia tumbuh besar terlebih dahulu, kita rawat dengan baik. Baru kemudian kita putuskan akankah diganti “tanaman” lain yang lebih menghasilkan atau tidak.  :)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun