Mohon tunggu...
Ahmad Miftahul Farohi
Ahmad Miftahul Farohi Mohon Tunggu... Hanyalah orang biasa

Pecinta genre misteri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kenapa Profesi Masih Jadi Ukuran Harga Diri di Masyarakat Kita?

14 April 2025   22:27 Diperbarui: 14 April 2025   22:27 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi salah satu profesi | Sumber foto: pexels.com/Kaboompics.com 

Dalam sebuah percakapan sederhana antara dua orang, bisa tersembunyi banyak lapisan makna yang merefleksikan pola pikir masyarakat. Misalnya saat seseorang ditanya, "Kerja di mana sekarang?", lalu dijawab, "Di perusahaan swasta, Tante," dan responsnya adalah, "Oh. Kayak anak Tante tuh, PNS." Kelihatannya biasa saja, tapi di balik itu ada narasi sosial yang menarik: bahwa profesi seseorang masih dianggap sebagai penentu nilai dan derajatnya di mata orang lain.

Fenomena ini bukan hal baru. Profesi, terutama yang berlabel "negeri" atau "pemerintah," sering kali ditempatkan di singgasana tertinggi dalam struktur sosial masyarakat. Menjadi PNS, TNI, Polri, atau ASN kerap dipersepsikan sebagai simbol kemapanan, kestabilan, bahkan keberhasilan hidup. Tapi, pertanyaannya: apakah benar profesi mencerminkan kualitas seseorang secara utuh?

Profesi sebagai Simbol, Bukan Esensi

Masyarakat kita cenderung menyamakan status pekerjaan dengan harga diri. Profesi tertentu dianggap lebih "terhormat" dari yang lain. Padahal, realitanya tidak sesederhana itu. Integritas, etika, dan tanggung jawab seseorang tidak ditentukan oleh pekerjaannya, melainkan oleh karakternya.

Lucunya, sering kali orang yang dijadikan contoh teladan karena profesinya, justru punya catatan moral yang dipertanyakan. Yang dipuji karena jadi PNS, misalnya, ternyata punya utang ke temannya dua juta rupiah dan belum dibayar. Tapi orang tetap akan bilang, "Dia itu anak baik kok, kan sudah jadi PNS." Seolah-olah pekerjaan bisa menutupi kelalaian etika dasar.

Standar Ganda dalam Menilai Orang

Ini yang menarik. Ketika orang swasta telat bayar sesuatu, bisa langsung dinilai tidak bertanggung jawab. Tapi ketika seseorang yang dianggap "berstatus" melakukan kesalahan, justru dimaklumi. Inilah standar ganda yang sering tidak kita sadari. Kita lebih mudah memaafkan orang yang punya titel, gaji tetap, atau seragam dinas, dibanding mereka yang pekerjaannya kurang "prestise" di mata umum.

Lebih parahnya lagi, standar ini kadang datang dari keluarga sendiri. Ada semacam dorongan halus (atau kadang kasar) untuk "menyamai" si A atau si B yang jadi PNS. Tidak masalah kalau memang itu panggilan hatinya. Tapi kalau jadi tekanan sosial, ya toxic juga ujung-ujungnya.

Budaya "Gengsi Profesi" dan Dampaknya

Gengsi profesi ini menciptakan dua efek buruk. Pertama, rasa inferior dari mereka yang tidak bekerja di sektor yang dianggap elite. Kedua, rasa superior dari mereka yang merasa posisinya lebih tinggi. Padahal dua-duanya bisa keliru. Dunia kerja sekarang sudah sangat luas dan dinamis. Banyak orang di sektor swasta, bahkan freelance, yang lebih berintegritas dan berdampak besar dibanding mereka yang hanya mengandalkan status tanpa kontribusi nyata.

Di sisi lain, ini juga bisa mengaburkan penilaian objektif terhadap tindakan seseorang. Ketika seseorang berstatus tinggi melakukan pelanggaran, masyarakat cenderung diam atau tidak enak menegur. Tapi ketika yang melanggar adalah orang biasa, bisa habis dicaci. Ini jelas mencerminkan ketimpangan cara berpikir.

Mengembalikan Nilai pada Etika, Bukan Label

Mungkin sudah saatnya kita mulai mengubah cara pandang. Bahwa menjadi PNS, pegawai swasta, wiraswasta, atau pekerja lepas, semuanya sah dan terhormat selama dilakukan dengan jujur dan bertanggung jawab. Profesi hanyalah bagian dari identitas sosial, bukan cermin mutlak kualitas pribadi.

Lebih penting lagi, mari biasakan menilai seseorang dari sikap dan perilakunya. Kalau dia pinjam uang, ya harus dibayar. Kalau bikin janji, ya ditepati. Tidak peduli dia pakai seragam dinas atau kaus oblong. Karena ukuran manusia bukan statusnya, tapi kejujurannya.

Dari Percakapan Ringan ke Refleksi Sosial

Kadang, kita tidak perlu teori berat untuk memahami pola pikir masyarakat. Satu percakapan ringan bisa jadi jendela kecil yang menunjukkan bagaimana kita masih terjebak dalam cara berpikir yang usang. Memandang tinggi profesi tertentu, dan meremehkan yang lain. Menutup mata terhadap kesalahan orang "terhormat," tapi cepat menghakimi orang biasa.

Semoga kita pelan-pelan bisa berpindah. Dari memuja status ke menghargai integritas. Dari menilai tampilan ke menimbang nilai. Karena pada akhirnya, bukan apa pekerjaannya yang penting, tapi bagaimana seseorang menjalani hidupnya dengan tanggung jawab dan hormat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun