Dalam sebuah percakapan sederhana antara dua orang, bisa tersembunyi banyak lapisan makna yang merefleksikan pola pikir masyarakat. Misalnya saat seseorang ditanya, "Kerja di mana sekarang?", lalu dijawab, "Di perusahaan swasta, Tante," dan responsnya adalah, "Oh. Kayak anak Tante tuh, PNS." Kelihatannya biasa saja, tapi di balik itu ada narasi sosial yang menarik: bahwa profesi seseorang masih dianggap sebagai penentu nilai dan derajatnya di mata orang lain.
Fenomena ini bukan hal baru. Profesi, terutama yang berlabel "negeri" atau "pemerintah," sering kali ditempatkan di singgasana tertinggi dalam struktur sosial masyarakat. Menjadi PNS, TNI, Polri, atau ASN kerap dipersepsikan sebagai simbol kemapanan, kestabilan, bahkan keberhasilan hidup. Tapi, pertanyaannya: apakah benar profesi mencerminkan kualitas seseorang secara utuh?
Profesi sebagai Simbol, Bukan Esensi
Masyarakat kita cenderung menyamakan status pekerjaan dengan harga diri. Profesi tertentu dianggap lebih "terhormat" dari yang lain. Padahal, realitanya tidak sesederhana itu. Integritas, etika, dan tanggung jawab seseorang tidak ditentukan oleh pekerjaannya, melainkan oleh karakternya.
Lucunya, sering kali orang yang dijadikan contoh teladan karena profesinya, justru punya catatan moral yang dipertanyakan. Yang dipuji karena jadi PNS, misalnya, ternyata punya utang ke temannya dua juta rupiah dan belum dibayar. Tapi orang tetap akan bilang, "Dia itu anak baik kok, kan sudah jadi PNS." Seolah-olah pekerjaan bisa menutupi kelalaian etika dasar.
Standar Ganda dalam Menilai Orang
Ini yang menarik. Ketika orang swasta telat bayar sesuatu, bisa langsung dinilai tidak bertanggung jawab. Tapi ketika seseorang yang dianggap "berstatus" melakukan kesalahan, justru dimaklumi. Inilah standar ganda yang sering tidak kita sadari. Kita lebih mudah memaafkan orang yang punya titel, gaji tetap, atau seragam dinas, dibanding mereka yang pekerjaannya kurang "prestise" di mata umum.
Lebih parahnya lagi, standar ini kadang datang dari keluarga sendiri. Ada semacam dorongan halus (atau kadang kasar) untuk "menyamai" si A atau si B yang jadi PNS. Tidak masalah kalau memang itu panggilan hatinya. Tapi kalau jadi tekanan sosial, ya toxic juga ujung-ujungnya.
Budaya "Gengsi Profesi" dan Dampaknya
Gengsi profesi ini menciptakan dua efek buruk. Pertama, rasa inferior dari mereka yang tidak bekerja di sektor yang dianggap elite. Kedua, rasa superior dari mereka yang merasa posisinya lebih tinggi. Padahal dua-duanya bisa keliru. Dunia kerja sekarang sudah sangat luas dan dinamis. Banyak orang di sektor swasta, bahkan freelance, yang lebih berintegritas dan berdampak besar dibanding mereka yang hanya mengandalkan status tanpa kontribusi nyata.