Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Merantau ke Amerika Dengan Modal Sebongkah Keyakinan

23 September 2013   14:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:30 7139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13799217311996388019

'Freedom Tower' New York City -USA-

Semasa kecil, saya pernah punya mimpi untuk bisa berkunjung ke luar negeri. Mengunjungi tempat-tempat yang biasanya hanya dapat saya lihat melalui berbagai film import yang sering diputar di televisi. Kesannya begitu wah dan mengasyikkan bila berada di negeri asing, di tempat yang sama sekali belum pernah kita lihat. Tempat yang membuat kita tertantang untuk beradaptasi, dan bila perlu ‘menaklukkan’nya dengan cara kita masing-masing.

Tapi ternyata mimpi itu tidak mudah digapai, dan perlu perjuangan panjang untuk memperolehnya. Tetapi akhirnya, penantian panjang itu bisa mewujud. Ada perasaan lain ketika impian untuk berkunjung dan tinggal di negeri lain itu sudah terwujud. Senang dan kecewa. Senang karena impian masa kecil sudah bisa terwujud, dan kecewa karena kenyataan yang saya lihat di negeri orang itu jauh dari bayangan saya sebelumnya. Tidak semudah dan semenyenangkan yang ada dalam pikiran saya. Bahkan, tidak semenarik apa yang sering dilihat di televisi. Sama sekali berbeda. Tidak gampang. Tidak mudah. Dan tidak sedahsyat yang kita bayangkan.

Singkat cerita, setelah mendapatkan kesempatan pergi ke Amerika Serikat, negara yang katanya menyimpan ‘susu dan madu’ yang berlimpah, ternyata perjuangan keras dan kegigihan amat sangatlah yang harus kita miliki pertama-tama. Sebab, tanpa itu, saya tidak mungkin bertahan di negeri orang bernama Amerika itu selama belasan tahun. Dengan sebongkah keyakinan, saya meyakinkan diri bahwa saya bisa. Bahwa saya sanggup.

Daerah East Coast (Pantai Timur) Amerika, tempat di mana saya tinggal untuk kali yang pertama, menurut sebagian besar orang, termasuk yang saya rasakan sendiri, adalah merupakan daerah yang keras. Tempat tinggal yang dapat menyebabkan kita ingin cepat-cepat pulang kampung saja. Umpamanya New York dan New Jersey, untuk dapat bertahan di kedua tempat ini Anda butuh lebih banyak energi, lebih banyak keberanian, dan bertumpuk-tumpuk kegigihan. Mungkin ini diolehkarenakan begitu banyaknya pendatang dari berbagai negara di dunia ini yang bersemayam di sana.

Sebab itu, hanya ada dua pilihan, ‘hidup’ atau ‘mati’. Sukses atau gagal. Berhasil menjadi sesuatu atau tidak sama sekali. Bahkan saking kerasnya persaingan dalam segala bidang, membuat harga-harga meroket setinggi langit di kedua tempat ini, menjadikan daerah ini adalah tempat untuk tinggal yang paling mahal di seluruh Amerika. Biaya properti termahal. Biaya makan dan minum termahal. Biaya pendidikannya juga mahal-mahal.

Hidup di New Jersey dan New York memang sangatlah keras, ada beberapa cara menyiasati kehidupan yang keras dan butuh kegigihan amat sangat itu.

Tunjukkan Bahwa Kita Punya Kelebihan

Karena begitu banyak pendatang dari berbagai negara yang hidup dan bekerja di Amerika, apalagi di East Coast, memaksa kita untuk menunjukkan bahwa kita lebih dari mereka, untuk supaya kita bisa mendapat tempat dalam segala bentuk persaingan itu. Pengalaman mengajarkan kepada saya, bahwa kita sebetulnya tidak lebih jelek dari bangsa manapun di muka bumi ini. Banyak warga Indonesia yang bisa melebihi warga Amerika asli, baik dalam pendidikan maupun pekerjaan. Ada kawan saya orang Manado, yang lolos interview untuk dapat bekerja di salah satu perusahaan mobil besar, FORDS. Ia terpilih setelah menyisihkan sekitar 1000 orang dari berbagai negara.

Ketika saya pertama kali diinterview di sebuah perusahaan multinasional, penanya itu hanya menanyakan stu pertanyaan yang membuat saya agak bingung, tapi menurut si penanya adalah paling krusial. Apa itu? Pertanyaan tersebut adalah ini, “Why should we hire you?” Jawaban sayasaat itu harus menunjukkan bahwa saya punya kelebihan yang tidak dimiliki orang lain, sehingga kehadiran dan keberadaan saya dapat memberi nilai tambah bagi perusahaan tersebut. Pertanyaan tersebut wajib saya jawab dengan amat panjang, dan harus membuat si penanya itu puas dengan jawaban saya. Sederhananya, I have to make him impressed.

Saya punya tekad, bahwa kita ini mestinya dapat menunjukkan bahwa dalam pekerjaanpun kita bisa lebih baik dibanding orang Amerika asli. This is actually something that I can control. Dan kalau itu benar-benar ditunjukkan, kebanyakan pemilik perusahaan atau para boss di perusahaan akan memberikan kita kepercayaan dan tanggungjawab yang lebih besar lagi. Saya bahkan pernah merasakan punya anak buah orang India, Afrika, Jerman, bahkan orang Amerika sendiri. Ternyata ‘barat’ tidak selalu lebih baik dari ‘timur’. Itu salah satu cara saya dapat bertahan di perantauan. Apapun alasannya untuk gagal, tapi you have to steer your own destiny.

Beradaptasilah Secara Bijak

Secara umum dan luas, memang Amerika menjungjung begitu tinggi nilai-nilai universal yang dimiliki setiap insan, yaitu persamaan hak, dan pantang terhadap semua bentuk diskriminasi. Akan tetapi kenyataan di individual level masilah sangat kental. Bahwa diskriminasi itu masih terus ada dan hadir. Kita tak mungkin menyangkalnya. Saya adalah bukan warga ‘kelas satu’. Kalau begitu, apakah warga ‘kelas dua’? Bukan. Orang Asia sepertinya masilah warga ‘kelas tiga’ dan seterusnya. Sementara itu, warga kulit hitam (black guy) adalah warga kelas dua, dan otomatis orang kulit putih (white guy) tetaplah menjadi warga kelas satu dan ‘kelas utama’. Lantas bagaimana harus bersikap? Bergaulah dengan semua, dan beradaptasilah dengan keadaan seperti itu. Karena, biasanya ada saatnya roda perlakuan tersebut akan berubah. Ada caranya untuk ‘melawan’, tapi jangan pernah dengan cara yang frontal.

Saya pernah punya pengalaman, menegur seorang kawan baik saya, tentu saja demi kebaikannya, karena saya benar-benar ingin kawan saya itu maju dalam pekerjaannya. Maksud saya supaya dia bisa jadi lebih baik, tapi akhirnya saya sadar bahwa ada begitu banyak orang Amerika yang terlalu sensitive, bahkan kalau boleh saya sedikit lancang, mereka itu way too sensitive untuk banyak hal. Bahkan untuk sebuah teguran sekalipun. Padahal, bukankah constructive criticism is what friends are for? Tapi, kita memang harus pandai-pandai beradaptasi dengan lingkungan yang seperti itu juga.Budaya kita berbeda, oleh karenanya bijaklah menyelami budaya di mana kita berada. Seperti sebuah pepatah kuno yang berkata, ‘If you in Rome do as Romans do’.Jika Anda di Roma, berlakulah sebagai orang Roma, atau kita mengenalnya sebagai ‘masuk kandang kambing mengembik, masuk kandang singa mengaum’. Atau, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Seperti itu.

Jangan Pernah Terpancing Untuk Menghamburkan Uang

Tahun-tahun pertama di Amerika, kawan-kawan saya selalu bilang bahwa “you are making a lot of money”. Mungkin benar. Tiga ribu sampai empat ribu dolar dalam satu bulan itu lumayan banyak untuk para ‘petualang pemula’ di negeri perantauan sebesar Amerika. Tapi apa memang seperti itu? Jangan pernah lupa, biaya hidup di sana juga sangatlah tinggi, jadi walaupun dapatnya banyak, akan cepat habis juga kalau kita tidak hemat dan pintar-pintar mengatur keuangan.

Ada satu hal yang harus kita sadari. Orang-orang Amerika dapat dikatakan jenius dalam hal marketing. Ini memang sepertinya tak terbantahkan. Setiap kali saya belanja apapun, bahkan untuk sebungkus susu cair, atau sebotol air minum saja, maka saya akan selalu mendapat setumpuk kertas berisi berbagai macam penawaran, termasuk potongan harga dan macam-macam lainnya. Struknya juga pasti akan ada ‘iklan’nya di situ, menjadikan potongan kertas berisi pembelian satu botol air minum itu panjangnya minta ampun.

Di hari-hari pertama, saya selalu akhirnya berhenti sejenak, dan tergoda untuk membeli lebih banyak barang dari yang seharusnya saya beli, semua karena kertas-kertas penawaran yang sangat banyak dan ‘aduhai’ itu. Buah anggur yang dikorting, sabun mandi yang ada diskonnya, pengharum ruangan yang buy one get one free, daging sapi yang dikorting 20%, dan banyak lainnya. Siapa yang tidak bakalan tergoda? I finally bought them all. Sesuatu yang belum tentu diperlukan, makes me feeling very stupid as I walked out from the supermarket. Makanya mindset kita mesti luruskan dulu sebelum pergi berbelanja. Bulan-bulan berikutnya saya banyak belajar dari pengalaman tersebut. Bahkan kartu kredit pun batasi satu saja sudah cukup. Tidak usah banyak-banyak. Di Amerika, ingat saja tiga kata ini: Hemat, hemat, dan hemat.

Ada banyak hal yang dapat kita pelajari, tapi itulah tiga hal (tips) yang saya terapkan selama di Amerika. Kemampuan berbahasa Inggris adalah satu hal lain, tapi ini bisa dipelajari ketika kita sudah berada di negara lain. Kalau kita sehari-hari terbiasa dan terpaksa menggunakan Bahasa Inggris, saya percaya pada akhirnya kita dapat menggunakannya dengan baik juga. Hanya saja dibutuhkan niat dan upaya keras untuk mau terus belajar, dan tiada hentinya belajar. Dengan segala kemampuan kita, keberanian, serta rasa percaya diri, maka diperantauan manapun kita berada, saya percaya kita akan sanggup bertahan, dan ‘menaklukkan’nya dengan cara kita masing-masing. Semoga. You ought to do what you ought to do---Michael Sendow---

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun